Koran Sulindo – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menyelidiki dugaan pelanggaran pemilu, yaitu politisasi bantuan sosial (Bansos) untuk warga terdampak Covid-19. Dua kepala daerah, yaitu Bupati Klaten Sri Mulyani, dan Walikota Semarang Hendrar Prihadi sedang diklarifikasi karena dugaan politisasi bansos itu.
“Bupati Klaten, Walikota Semarang itu sedang diklarifikasi. Kami mengundang 20 orang diklarifikasi. Apakah bansos dilabeli label kepala daerah? Apakah dilabeli simbol politik apa bukan?” kata anggota Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar, di Jakarta, Minggu (10/5/2020), melalui rilis media.
Untuk dugaan politisasi bansos, Bawaslu akan menerapkan Pasal 71 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Sebelumnya, Bawaslu Jawa Timur menemukan politisasi bantuan sosial (Bansos) Covid-19, di Kabupaten Jember, Jatim, yaitu penempelan gambar Bupati Jember Faida, calon petahana dan akan maju pilkada 2020.
“Sejauh ini kami baru menemukan politisasi bantuan sosial di Jember dengan penempelan gambar petahana yang maju melalui jalur perseorangan di sak beras bantuan Covid-19,” kata Anggota Bawaslu Jatim, Nur Elya Anggraini.
Bawaslu sudah mengeluarkan surat imbauan yang diteruskan ke Bawaslu provinsi dan daerah sebagai bentuk pencegahan terjadinya politisasi bantuan di tengah pandemi Covid-19, agar tidak ada kepala daerah yang memanfaatkan bantuan tersebut untuk kepentingan pilkada.
“Kalau bantuan itu bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus disampaikan kepada masyarakat dan jangan mempolitisasi bantuan seolah-oleh pemberian kepala daerah, apalagi dalam kemasan bantuan bergambar kepala daerah seperti yang terjadi di Jember,” katanya.
Bawaslu mencoba mencegah adanya pihak-pihak yang mempolitisasi bantuan pada masa pandemi Covid-19 untuk arena kontestasi elektoral, sehingga Bawaslu di daerah juga diharapkan bisa mencegah potensi pelanggaran.
“Kami tidak pernah melarang kepala daerah untuk memberikan bantuan kemanusiaan di masa pandemi Covid-19, namun Bawaslu meminta kepala daerah yang hendak maju kembali di pilkada 2020 tidak mencampurkan perihal bansos dengan kepentingan politik,” kata Nur.
Masker dan Mencuci Tangan bisa jadi Modus Baru
Sementara itu Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan penerapan standar protokol kesehatan covid-19 seperti mencuci tangan dan memakai masker bisa menjadi modus baru penyalahgunaan hak pilih pada Pilkada 2020.
“Pengawas harus bisa memastikan setiap orang yang datang ke TPS itu harus betul-betul orang yang kita ketahui makanya pengawas TPS harus berasal dari lingkungan setempat supaya dia mengenal pemilih. Kalau pemilih menggunakan masker, bisa jadi tidak terdeteksi secara baik,” kata Ratna, dalam Rapat Kerja Teknis Virtual Pencegahan dan Penanganan Pelanggaran Pilkada 2020 Bawaslu se-Sumatera Utara, Sabtu (9/5/2020).
Menurut Ratna, standar protokol tetap dipatuhi tetapi ketika menggunakan hak pilih, masker harus dibuka untuk mengenal siapa sebenarnya pemilih yang datang di TPS. Demikian juga standar mencuci tangan, jangan sampai menjadi peluang untuk menggunakan hak pilih dua kali. Alasannya, apabila mengacu SOP protokol kesehatan, ada media untuk cuci tangan pakai sabun, yang bisa mempengaruhi tinta.
“Kita harus merekomendasi, tinta yang digunakan harus memiliki standar yang baik, standar yang tinggi dan tidak mudah luntur. Ini sangat berkaitan dengan ketersediaan anggaran,” kata Ratna. [RED]