Koran Sulindo – Pada wal tahun 2018 ini, harga beras bergerak naik, terutama harga beras medium. Di Karawang, Jawa Barat, misalnya, harga beras medium mencapai Rp 13.000 per kilogram. “Saya meminta pedagang juga jangan menaikkan harga terlalu tinggi. Karawang ini panen juga ada setiap hari, tetapi memang belum serentak,” tutur Kepala Dinas Pangan Karawang Kadarisman kepada wartawan, Jumat (12/1).
Dengan alasan semacam itulah, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memutuskan akan mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton. Diungkapkan Mendag Engiartiasto Lukito, jenis beras yang diimpor itu merupakan jenis beras khusus, yang padinya tidak ditanam di Indonesia. Landasan hukumnya: Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2018. Engiartiasto juga menilai, impor beras tersebut tidak akan mengganggu produksi dalam negeri.
Beras itu akan diimpor dari Thailand dan Vietnam oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) selaku BUMN. Karena, ketentuan dalam Permendag 1/2018 menyatakan, pihak yang diperbolehkan mengimpor beras adalah BUMN. Enggar memastikan pula, harga beras medium nanti akan dilepas Rp 9.450 per kilogram untuk wilayah Jawa, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Dijelaskan pula oleh Enggartiasto, dirinya menugaskan PPI sebagai pengimpor karena ia menginginkan alokasi beras impor itu nantinya jelas. Juga ingin menghindari penilaian bahwa beras impor itu dioplos sebelum didistribusikan. “Kenapa tidak Bulog? Supaya jelas. Nanti timbul lagi persoalan, kalau Bulog nanti dioplos dan sebagainya,” kata Enggartiasto di Jakarta, Jumat juga.
Nantinya, tambahnya, PPI bisa bekerja sama dengan pengusaha serta distributor beras lainnya untuk bisa langsung mengirim ke pasar. Dengan begitu tak ada potensi kecurangan. “Dari situ kita masukin di market langsung. Saya sudah sampaikan dan sekaligus laporkan,” tutur Enggar.
Namun, dalam pandangan ekonom yang juga mantan menteri dan mantan Kepala Bulog, Rizal Ramli, masalah yang selalu menghiasi krisis beras adalah soal data. Dan, menurut pengalamann Rizal, Kemendag dan Bulog selalu maunya impor. “Sebab, ada komisi 20-30 dolar per ton. Transaksinya di luar negeri, account bank juga berada di luar negeri. Tetapi, Kementan selalu bilang produksi lebih dari cukup. Sebab, ini terkait dengan prestasi mereka. Faktanya, angka yang benar itu di tengah,” tutur Rizal kepada wartawan di Jakarta, Jumat (12/1).
Mestinya, tambahnya, yang menilai adalah Menko Perekonomian Darmin Nasution. “Saya bingung di mana posisi Kemenko Perekonomian sekarang dalam menentukan data ini,” katanya.
Dijelaskan Rizal lagi, uang memang paling mudah didapat dari komisi impor komoditas. “Jadi duitnya gampang kalau main di beras, kedelai, gula, daging, dan lain-lain,” ujarnya.
Ia juga mengaku heran, ada rapat kebijakan harus impor beras dalam 2-3 hari ini. Padahal, sebentar lagi akan musim panen. “Stok di gudang Bulog memang 900 ribu ton, tapi itu cukup untuk dua bulan lagi. Panen kan sebentar lagi, Februari dan Maret, dan Bulog bisa beli,” ungkap Rizal.
Yang jadi masalah sekarang. Lanjutnya, Bulog pasif, pada saat panen tidak beli beras. Seharusnya, Bulog mengtahui berapa yang harus dibeli. “Saya tidak tahu ini sengaja atau tidak, meski memang Bulog sekarang beda dengan dulu, yang tak ada bunga kredit, turun langsung dari likuiditas Bank Indonesia. Dan itu tidak benar, ini kan sektor strategis,” katanya lagi.
Soal data memang tampaknya jadi persoalan. Januari 2017 lalu, misalnya, Menteri Pertanian (Mentan), Amran Sulaiman pernah menyatakan, sudah tak ada lagi impor beras pada tahun 2016. Pencapaian tersebut, katanya lagi, tak lepas dari upaya-upaya peningkatan produksi gabah, seperti penambahan luas tanam, perbaikan irigasi, dan bantuan besar-besaran alat dan mesin pertanian.
Bahkan, keputusan pemerintah untuk tak lagi mengimpor beras pada tahun 2016 lalu itu, ungkap Amran, membuat beberapa negara pemasok beras untuk Indonesia keheranan. “Saya ketemu delegasi Vietnam dan Thailand, mereka heran, apa yang dilakukan Indonesia kok tiba-tiba enggak impor. Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Pakistan selama ini menjadi negara yang ekspor [beras] ke Indonesia,” tutur Amran saat kunjungan kerjanya di Kecamatan Buke, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, 11 Januari 2017 lampau. Lebih lanjut, dia juga menegaskan, Indonesia tidak impor beras lagi setelah 32 tahun.
Bahkan, pada 10 Januari 2018 yang baru lalu, lewat akun resmi Twitter-nya, Kementan menyatakan tiap detik di Bumi Nusantara ada panen padi. “Alhamdulillan Indonesia sudah #TidakImporBeras sejak 2016,” demikian tertulis di akun @kementan.
Namun, apa yang diungkapkan Amran dan akun resmi Kementan itu tak sinkron dengan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut data BPS, ada impor beras sebanyak 1,2 juta ton senilai US$ 495,12 juta, dari Januari sampai November 2016. Angka ini meningkat 110,66% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2015, yakni sebesar 569.620 ton senilai US$ 351,60 juta.
Terkait perbedaan data itu, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Agung Hendriadi menjelaskan, impor beras yang cukup besar di 2016 tersebut merupakan sisa dari kontrak impor tahun 2015. Beras yang datang itu juga difungsikan sebagai beras cadangan pemerintah. “Itu beras sisa kontrak tahun 2015 lalu. Artinya, itu residu karena negara eksportir baru mengirimkan berasnya pada tahun berikutnya,” kata Agung dalam keterangan tertulisnya, 2 Januari 2017. Beras yang diimpor adalah beras premium. [RAF]