Ilustrasi/YUK

Koran Sulindo – Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Yogya meresmikan pilot plan yang mengolah (memisahkan) tanah jarang menjadi thorium, Rabu (4/1). Thorium ini nantinya bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif seperti membangun PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) di masa depan. Bahkan thorium juga banyak dipakai untuk industri otomotif atau industri elektronik.

“Saat ini memang penelitian dan pengembangan tersebut belum dapat menghasilkan profit, namun jadi langkah awal transisi dari skala laboratorium ke skala industri,” ungkap Kepala Pusat Sains dan Teknologi Akselerator BATAN Yogya.

Menurut Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Prof Dr Ir Djarot Sulistio Wisnubroto, kalau BATAN mengembangkan thorium saat ini dengan alasan untuk mengurangi kecemasan masyarakat terhadap anggapan berbahayanya uranium untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

“Thorium lebih sedikit menghasilkan limbah dan tidak potensial jadi bahan senjata nuklir.  Karena itu kami coba fokus pada pengembangan pemanfaatan thorium karena lebih aman untuk jadi sumber energi alternatif,” tutur Djarot.

Djarot mengakui, teknologi penggunaan thorium hingga skala industri atau komersial memang masih harus melalui penelitian panjang. Hanya saja yang perlu diperhatikan, potensi thorium jauh lebih besar dari potensi Uranium di Indonesia.

Potensi thorium di Indonesia sekitar 130.974 ton, sementara potensi Uranium hanya 74.397 ton. Potensi thorium di lndonesia terdapat di beberapa daerah, antara lain Pulau Singkep, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Thorium terdapat dalam mineral monasit yang berasosiasi dengan endapan timah dan menjadi produk samping dari tambang timah. Thorium dapat mencapai kadar 4,738% di dalam monasit. Potensi sumber daya thorium lainnya terdapat di daerah Mamuju, Sulawesi Barat.

Djarot kembali menekankan, untuk memanfaatkannya hingga skala industri masih sangat jauh. India yang memiliki Thorium sekitar 800.000 ton pun saat ini masih dalam tahap ujicoba. “Tiongkok yang telah memulai lebih awal pun menyatakan baru akan memanfaatkan thorium sebagai energi listrik pada 2035 mendatang. Kalaupun Indonesia menggunakannya juga, paling lima atau sepuluh tahun kemudian setelah Tiongkok,” katanya.

Dijelaskan Djarot, sebetulnya PLTT mulai dikembangkan pada 1965 oleh GIen T. Seaborg di Oak Ridge National Laboratory, Amerika Serikat dengan memanfaatkan thorium dalam bentuk cair yang disebut Molten Salt Reoctor (MSR). MSR telah beroperasi selama 20 ribu jam (4 tahun) tanpa ada masalah. Sayangnya, program tersebut dihentikan oleh Amerika Serikat yang lebih memilih tetap menggunakan uranium karena bahan bakar bekasnya masih berpotensi menghasilkan plutonium. Pada saat yang hampir bersamaan, Jerman dan lnggris mengembangkan teknologi yang sama.

Saat ini, negara yang masih aktif mengembangkan teknologi PLTT adalah lndia dan Tiongkok. Tiongkok mulai mengembangkan reaktor garam cair thorium lThorium Molten-Solt Reactor/TMSRI dan pada tahun 2011 telah diumumkan bahwa pengembangan sistem nuklir garam cair berbasis thorium akan memakan waktu kurang lebih 20 tahun.

Hasil jangka menengah program TMSR yang diharapkan adalah membangun 1 reaktor riset berpendingin garam fluorida pebble bed 2 MW tahun 2015 dan 1 reaktor riset berbahan bakar garam cair 2 MW tahun 2017. Selanjutnya diikuti dengan pembangunan reaktor demo 10 MW dan 100 MW dengan target tahun 2017-2025. [YUK]