Koran Sulindo – Dan bentrokan jelas tak terhindarkan. Mereka yang baru bebas dari kamp interniran menganggap punya hak atas bekas miliknya.
Mereka juga bersikap congkak, sikap yang tak pernah sekalipun ditunjukkan ketika Jepang berkuasa.
Banyak dari golongan ini yang bahkan menganggap kemerdekaan adalah lelucon.
Orang-orang ini meski mengalami perlakuan keras dan penghinaan selama pendudukan Jepang, ternyata gagal mempelajari satu hal. Indonesia merdeka dan pribumi muak pada kelakuan sok superior mereka.
Di Surabaya, pesawat terbang menyebarkan ribuan pamflet bergambar Ratu Wilhelmina dan bendera merah putih biru terbuat dari kertas. Selebaran itu memamerkan bahwa tak lama lagi mereka bakal mengambilalih kekuasaan Jepang, tentu saja dengan bantuan Sekutu.
Itu ibarat menumpahkan bensin pada api yang tengah menyala.
Di Jakarta, segera setelah Bung Karno mengumandangkan kemerdekaa, pemuda dan rakyat berdiri dalam satu barisan mengkonsolidasikan diri. Masa bersiap!
Di semua tempat pekikan siaap!!! adalah tanda untuk bangkit. Melawan Jepang, Inggris, Belanda, Indo Belanda dan siapapun yang berniat memadamkan semangat kemerdekaan.
Tentu saja revolusi penuh kekerasan dan kadang bersimbah darah. Masa bersiap darah tumpah dari kedua belah pihak. Khususnya mereka orang-orang Belanda, Indo Belanda dan kaki tangan merekanya, karena rakyat ingat betul sebelum Jepang datang merekalah penjajahnya.
Mereka yang dianggap mendukung tatatan lama tersapu gelombang kebencian massa sebagian kecil Belanda totok, Indo Belanda, Minahasa, Manado, Maluku, dan Cina. Ya, penghinaan ratusan tahun meletup dalam penjarahan dan pembunuhan. Sebagian karena balas dendam.
Di Jakarta penggerudukan dan penggedoran menjadi pemandangan lazim di awal-awal kemerdekaan. Hal serupa juga menjalar ke daerah-daerah lain. Tercatat, sepanjang Oktober 1945 di seluruh Jawa dan sebagian kecil Sumatra hampir setiap hari aksi-aksi terjadi.
Tak lalu semuanya lalu ingin membalas dendam, dalam De republikeinse kampen in Nederlands-Indië, Oktober 1945-Mei 1947. Orde in de chaos? Mary van Delden sejarawan dari Universitas Radboud menulis, “Andaikan tentara Indonesia tidak ikut campur menjaga sebagian kamp internir saat itu, saya yakin korban jiwa akan jauh lebih banyak.”
Andjing NICA
Sementara Surabaya segera meledak dalam pertempuran dahsyat setelah Proklamasi, Bandung justru seolah jatuh begitu saja ke tangan Inggris bulan Oktober 1945. Pemuda Bandung sempat diejek sebagai Peuyeum Bol semacam kue khas Bandung dari ubi kayu bulat-bulat seperti bola tenis yang digoreng.
Di pihak lain beradalih mengkhawatirkan ancaman kekerasan menimpa orang Belada dan Indo Belanda, kepala Staf Umum Tentara Inggris memutuskan membentuk Departemen Polisi Militer pada 24 September 1945.
Di bawah pengawasan Inggris, Belanda melalui NICA mulai mempersenjatai bekas tawanan perang dan anak-anak muda Belanda. Juga pemuda Ambon, Manado, Timor, Jawa dan Sunda dan membentuknya sebagai unit militer. Mereka direncanakan bakal mendapat pelatihan lebih lanjut di gedung Akademi Militer Kerajaan di Bandung.
Setelah lengkap dua kompi, unit itu akhirnya diresmikan pada tanggal 2 Desember 1945 dengan sebutan Batalyon Infanteri V Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL) dengan komandan Kapten JC Pasqua.
Bagi orang-orang yang mendukung Belanda, pembentukan Batalyon V ini adalah solusi. Dengan senjata di tangan, mereka beranggapan bisa menjaga diri dan terlepas dari rasa takut dan ancaman. Tentu saja sekaligus diam-diam berkerja untuk mewujudkan kembalinya tatanan kolonial Belanda.
Batalyon V KNIL itu kembali merekrut personel baru tanggal 10 Desember dan diperiksa diinspeksi secara resmi oleh Jenderal Mac Donald, komandan pasukan Inggris di Bandung dan Cimahi. Mereka langsung ditugaskan.
Tugas pertamanya adalah mengambil alih pekerjaan tentara Inggris menjaga bekas kamp interniran di Cihapit. Dari Inggris, mereka juga mewarisi seluruh sektor di utara Cimahi yang terus menerus menghadapi serangan berat.
Ya, sejak semula batalyon ini memang dibuat sebagai satuan reaksi cepat yang biasa bertempur dengan beringas bak Marsose Belanda di Aceh dulu.
Markas batalyon di Cimahi selalu menjadi langganan serbuan pemuda pejuang sehingga sangat merepotkan. Mereka bereaksi dengan keras dan brutal terhadap setiap serangan sehingga Radio RRI Jogya memaki dan menjuluki tentara KNIL Belanda ini sebagai Andjing NICA.
Julukan mengerikan sekaligus penuh ejekan.
Bukannya marah, julukan dan makian itu belakangan justru dipakai untuk meresmikan namanya. Mereka bangga dengan nama dan lambang batalyon bergambar kepala anjing menyalak dengan latar belakang hitam yang dirancang E.C.E. Amade.
Unit tempur itu secara resmi segera menyandang nama Batalyon Infanteri V KNIL Andjing NICA. Saking bangganya, beberapa personel Batalyon V bahkan sering mencoreti seragam tempur mereka dengan tulisan: Andjing NICA.
Sembari terus mempertahankan wilayah-wilayah yang diduduki, unit tempur ini terus diperkuat hingga mencapai jumlah empat kompi di bulan Juni 1946. Keempat kompi ini masing-masing dibedakan dari warna dasinya, hijau untuk kompi Eropa, merah untuk kompi Ambon, hitam untuk kompi Timor sementara warna biru untuk kompi campuran.
Tentara Andalan
Gert Oostindie dalam buku Serdadu Belanda di Indonesia yang mengutip buku Een Stem Uit het Veld: Herenneringen van de Ritmeester Adjudant van General SH Spoor karangan Rob Smulders ajudan Jenderal Spoor memuji ketangguhan unit tempur ini.
“Andjing NICA ini, menempatkan dirinya melawan kelompok ‘bersiap’ untuk menyelamatkan, melindungi dan membebaskan para tawanan yang seringkali tak berdaya.”
Ia melanjutkan, “Mungkin tak ada kesatuan sebaik Andjing NICA yang bisa memahami kebenaran luar biasa dan metode kejam dari para gerilyawan dan kemudian menemukan jawabannya dengan membentuk kontragerilya.”
Tak hanya memuji, Gert Oostindie juga mencatat kelakuan barbar unit ini yang melakukan eksekusi pada lima orang warga di Balapulang. Tanpa pengadilan, kelima orang ini dibantai atas tuduhan bertanggung jawab pada pembunuhan 18 orang Indo di tahun 1946.
Sebagai unit andalan KNIL, Batalyon V mendapat kesempatan bertempur hampir di semua front. Pada tanggal 21 Juli 1947 mereka ditarik ke Cirebon melalui Sumedang, istirahat sebentar dan pada 29 Juli unit dengan berani menerobos lereng Gunung Slamet. Menjadi bagian dari Brigade V, mereka menyerbu Purwokerto dan Purbalingga sekaligus mengamankan jembatan Kali Serayu.
Dari sana, mereka terus merangsek ke selatan dan menguasai Kroya dan Sumpiuh pada 3 Agustus 1947 sebelum akhirnya berhenti di Gombong menyusul pemberlakukan gencatan senjata. Sementara batalyon bermarkas di Puring dan Sumpiuh, bagian-bagian lain dari unit ini juga menyusuri Pantai Selatan dan menyerbu ke Pangadaran dan Parigi di barat.
Gombong menjadi perhentian terlama bagi pasukan ini sebelum akhirnya kembali dilibatkan dalam Agresi Belanda ke-2.
Julius Poor dalam Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Sipil-Militer menulis, di bawah pimpinan Letkol Van Santen, Andjing NICA kembali menjadi tulang punggung Agresi II.
Mereka menjadi ujung tombak Gugus Tempur D yang mendobrak garis demarkasi di Gombong, melibas Kebumen dan langsung menyerbu Purworejo. Dari Purworejo, mereka merangsek ke utara menyusuri tanjakan Margoyoso menuju Salaman dan masuk ke Magelang.
Gerakan cepat menguasai Purworejo ini membuat salah seorang komandan kompi Andjing NICA, Letnan Satu S A Lapre menuai bintang penghormaan Militaire Willems-Orde.
Berhasil menguasai Magelang, bersama dengan Gugus Tempur A, Andjing NICA ini segera terlibat dalam operasi omsingelen en uitschakelen (mengepung dan membersihkan) sisa-sisa TNI yang tercecer dan terpencar ke lereng Gunung Merapi-Merbabu.
Mereka juga bergerak Temanggung dan Parakan, mereka juga sekaligus dibebani tugas tambahan yakni meringkus pasukan Siliwangi yang tengah dalam perjalanan pulang ke markas mereka di Jawa Barat.
Unit-unit ini juga yang berhasil menangkap Kolonel Daan Yahya yang bertindak sebagai Pejabat Pelaksana Panglima Divisi Siliwangi pada Long March.
“Tuan-Tuan tidak usah khawatir, kita hanya mau ambil sejata saja. Saya juga orang Gunung Bohong, Cimahi,” kata Daeng Ardawinata komandan Batalyon Daeng menirukan prajurit KNIL itu dalam tulisannya Prahara Long March Siliwangi.
Menurut Daeng, personel Andjing NICA itu bertindak sangat wajar dan tak melakukan melakukan hal-hal di luar batas seperti yang umumnya dilakukan jika Belanda menawan anggota TNI.
Menjelang gencatan senjata antara bulan Oktober dan Desember 1949 batalyon ini mundur bertahap dari wilayah Magelang dan berisap-siap dipindahkan ke Kalimantan Timur.
Sementara loading barang-barang ke kapal cukup rumit sehingga banyak yang rusak, pagi hari sebelum kapal bongkar sauh, Letkol Van Loon mengalami cedera parah setelah jipnya menghantam pohon. Pimpinan batalyon terpaksa diserahkan kepada perwira paling senior Kapten Schlosmacher.
Dibubarkan
Van Loon menjadi komandan menggantikan Van Santen yang dalam 4 tahun terakhir terus menerus menjadi komandan.
Sementara staf dan kompi staf ditempatkan di Balikpapan, kompi-kompi lain tersebar saling berjauhan di Samarinda, Samboja hingga Sepinggan.
Letnan Toorop, komandan kompi dari Batalyon XIV KNIL yang sebelumnya memang sudah ditempatkan di Balikpapan menulis, karena minimnya perwira situasi-situasi aneh kerap terjadi.
“Saya komandan Kompi 3 Batalyon XIV, tetapi harus merangkap komandan kompi staf Batalyon XIV. Betul-betul gila ketika saya juga harus mengurus kompi staf Batalyon V Anjing NICA yan baru mendarat,” kata Toorop.
Di sisi lain, kedatangan Andjing NICA itu bertepatan dengan runtuhnya moral serdadu-serdadu KNIL. Meski dalam pertempuran mereka jarang kalah, di meja perundingan mereka sama sekali tak berdaya. Kalah secara politis dan mereka terancam pembubaran.
Sebenarnya ada pilihan lain. Namun bergabung dengan APRIS, pihak yang selama ini mereka musuhi di medan perang jelas tak terlalu menarik bagi mereka. Bagi yang berniat bergabung ditampung di Batalyon XIV sedangkan sisanya ditempatkan ke Batalyon V yang menurut rencana bakal dibubarkan.
Dengan nasib di ujung tanduk, bukan berarti orang-orang KNIL itu tak tergoda dengan aksi Westerling di Bandung atau Andi Azis di Makassar. Peristiwa serupa nyaris pecah di Balikpapan.
Anggota-anggota KNIL terutama yang berasal dari Ambon dan kecewa mengancam membakar kilang minyak milik BPM. Mereka bahkan menduduki tangsi dan menguasai gudang senjata sekaligus serta menyekap beberapa perwira.
Beruntung, situasi sulit itu terselamatkan berkat campur tangan Jenderal Scheffelaar, yang pernah menjadi komandan Andjing NICA. Jenderal itu memerintahkan kapal Waterman yang mengangkut bekas KNIL yang baru dikalahkan APRIS di Makasar untuk singgah di Balikpapan.
Ia juga membiarkan KNIL yang memberontak di Balikpapan itu berbicara dengan teman-temannya di kapal.
Pendekatan Scheffelaar berhasil dan mereka setuju menyerahkan senjatanya jika dilindungi tentara totok Belanda atau KL. Mereka yang enggan beralih ke APRIS itu segera diberangkatkan dengan kapal menuju Jakarta dan langsung ke Belanda.
Berakhirnya KNIL di Balikpapan itu secara otomatis sekaligs mengakhiri nasib Batalyon Infanteri V KNIL, si Andjing NICA yang berani itu. [TGU]