Ilustrasi

Suluh Indonesia – Dalam perjalanan dari Cina ke Persia pada 1298, Marco Polo mampir mengunjungi serangkaian kerajaan di Sumatera, yang disebutnya Jawa Kecil (Lesser Java). Marco mencatat 8 kerajaan di wilayah tersebut, namun yang disinggahinya hanya 6, yaitu kerajaan Perlak (Peurelak), Pasei (Pasai), Samatra (Samudra), Dragoin (Indragiri), Lambri (Aceh Besar), dan Fansur (Barus). Kerajaan-kerajaan tersebut tunduk kepada Khan Agung (Mongol).

Di Samatra (Samudra), Marco Polo singgah selama 5 bulan untuk menunggu datangnya angin baik untuk berlayar. Masyarakat Samudra masih menyembah berhala. Mereka mempunyai seorang raja yang agung dan kaya. Kerajaan Dragoian (Indragiri) merupakan sebuah kerajaan independen, dan mempunyai bahasa sendiri. Kerajaan Lambri (Aceh Besar) masyarakatnya masih menyembah berhala; mempunyai banyak kapur dan berbagai jenis rempah-rempah. Fansur (Barus) masih menyembah berhala; di sini tumbuh kapur terbaik di dunia, Canfora Fansuri.

“Kamu lalu bertemu sebuah kerajaan lain bernama FANSUR. Penghuninya masih menyembah berhala, dan menyebut di bawah kekuasaan Khan yang Agung. Di kerajaan Fansur tumbuh kamper terbaik di dunia bernama Canfora Fansuri. Begitu bagus sehingga harganya setara emas murni,” tulis Marco Polo, dalam bukunya yang terbit pada

Kapur Barus dari Fansur itu seharga emas. Pada 1848, 650 tahun sesudah kedatangan Marco Polo harga kapur kualitas no 1 Cina per pikul 20 dolar; harga kapur dari Barus kualitas no 1 dengan dengan berat yang sama 2.000 dolar.

Keberadaan Barus telah disebutkan oleh Claudius Ptolemaeus pada abad ke-2 dengan nama Baroussa. Dipertegas sumber-sumber Cina mulai abad ke-6 yang selalu menyebut nama Barus sebagai tempat asal kamper.

Baca juga Menghidupkan Kembali Jalur Rempah Nusantara

Sebelum abad ke-9, tempat yang disebut “Barus” itu tidak terletak di Barus yang sekarang, tetapi di jalur maritim yang melintasi Selat Malaka, di sekitar ujung utara Sumatera, yang kemudian di tempat itu muncul Lamuri (Aceh Besar). Sekitar awal abad ke-9, perubahan besar terjadi dengan runtuhnya jaringan “Barus” yang digantikan oleh pelbagai negeri kecil dan lebih mandiri.

Nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu Nusantara melalui Hamzah Fansuri, penyair sufi terkenal, yang berasal dari Barus. Hamzah Fansuri telah menciptakan karya-karya tasawuf yang filosofis dan mendalam. Ia wafat 1527 M, berdasarkan penemuan batu nisan bertuliskan namanya di Mekah. Penemuan ini sangat penting bagi sejarah Barus (Fansur), bahkan untuk sejarah Nusantara. Siapa pun identitas tokoh tersebut, inskripsinya menunjukkan bahwa seorang Barus pernah bermukim di kota suci dunia Islam, dan juga membuktikan bahwa hubungan antara Barus dan Timur Tengah, masih erat pada awal abad ke-16.

Dalam buku Claude Guillot (Barus Seribu Tahun yang Lalu; Kepustakaan Populer Gramedia; 2008) ditulis secara umum ada dua ciri paling menonjol artefak di Barus. Sebagian besar barang yang digunakan sehari-hari di Lobu Tua adalah barang impor; kedua, kebanyakannya berasal dari kawasan India Selatan dan Srilanka.

Kronik Kerajaan Batak menceritakan Air Busuk (Barus), dibuka oleh sekumpulan pelaut Cettiar yang kapalnya terdampar di sana, tetapi kemudian orang-orang Arab pun menyusul di sana. Keberadaan orang-orang Arab diperkuat ditemukannya cukup banyak artefak yang berasal dari wilayah ini. Diantaranya artefak dari kaca, tembikar berglasir, tempayan, pot, manik-manik, kotak dari batu klorit dan jimat yang salah satunya memuat tulisan bercorak kufi buatan Khorasan, Persia. Juga ditemukan cincin stempel yang berukir tulisan keagamaan yang memang merupakan satu tradisi di Timur Dekat.

Dalam beberapa teks berbahasa Arab atau Persia, Barus muncul dengan nama Fansur mulai pertengahan abad ke-9. Ini membuktikan hubungan erat antara kedua kawasan tersebut. Daerah asal orang dari Timur Dekat ini, sejumlah unsur mengarah ke Teluk Persia. Jelas bahwa Barus telah berhubungan dengan pelabuhan Siraf. Masyarakat Arab-Persia mungkin berasal dari daerah Fars dekat Siraf, dari Oman atau dari Mesopotamia yang mudah dijangkau melalui Basrah, bahkan ada juga yang berasal dari Gurgan, Tus, atau Neyshabur (daerah Khorasan).

Barus sebelum abad ke-9 tampaknya dikuasai oleh Sriwijaya. Gambaran Fansur pada akhir abad X diberikan oleh Hudud al-’Alam, sebuah kitab geografi dalam bahasa Persia tahun 982 M yang menyebutkan Fansur sebagai ”kota besar yang menjadi tempat persinggahan para pedagang; sebuah imperium maritim besar. Dari sana dikirim banyak kamper.”

Sedangkan sebuah teks dalam bahasa Armenia dari sekitar awal abad ke-12 menggambarkan Fansur (Pant’chour) sebagai sebuah kota dan pelabuhan yang ramai sekali, yang mengeluarkan kamper bermutu.

Islam Nusantara

Islam di Nusantara meninggalkan sejumlah besar makam atau komplek makam tua. Sebagian makam tersebut dianggap suci atau keramat, bahkan kadang dijadikan sebagai tempat meminta berkah.

Di antara makam tertua terdapat di komplek Makam Batu Badan, Barus, yaitu makam Tuhar Amisuri yang batu nisannya berangka tahun 1206 M (wafat 10 Safar 602 Hijriyah). Makam ini hampir 1 abad lebih tua dari makam Sultan Malikal-Saleh, Pasai, yang berangka tahun 696 H/1297 M. Ini menjadi bukti bahwa di Barus pada permulaan abad XIII M sudah ada pemukiman masyarakat Muslim.

Baca juga Qwitaire Maradapur, ‘Belantara’ Muasal Sejarah Nusantara

Secara umum, bentuk dan hiasan nisan makam-makam di Barus, termasuk nisan Siti Tuhar Amisuri, dan nisan-nisan yang termasuk kategori ”batu Aceh” memperlihatkan dominasi gaya lokal, seperti bentuk-bentuk epigrafi dan antropomorfik. Seni pahat epigrafi pada makam Tuhar Amisuri, Barus, yangmemperlihatkan kandungan kreatifitas lokal, sama seperti seni pahat di Limapuluh Kota dan Binamu, tetapi berbeda serapannya dengan makam Pasai, Aceh, dan Ternate-Tidore yang sepenuhnya menyerap anasir seni asing, serta Troloyo, Gresik, Airmata dan Astatinggi yang memperlihatkan pengaruh Hindu.

Selain bukti epigrafi, yang biasanya terdapat pada bagian nisan, bagian inipun kadangkala menampilkan bentuk-bentuk antomorfis. Misalnya pada nisan di Papan Tinggi dan Mahligai di Barus, Tapanuli Selatan, Sumatera Barat dan Jeneponto.

Fenomena tersebut jelas menunjukkan keahlian para seniman Nusantara ”melokalkan” muatan-muatan berisi ciri keislaman. [Didit Sidarta]

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 4 April 2017)