Banyak Kapal Kargo Karam di Jalur Rempah

Ekskavasi bawah air dari kapal karam (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Letak geografis Nusantara sangat strategis karena berada di antara dua benua, Asia dan Australia. Juga di antara dua samudera, Hindia dan Pasifik. Maka, sejak lama perairan Nusantara menjadi jalur lalu lintas pelayaran internasional yang menghubungkan negara-negara di Asia, Eropa, sampai Afrika.

Selain strategis, Nusantara dikenal sebagai negeri penghasil rempah-rempah. Di wilayah Eropa dan Timur Tengah rempah-rempah berharga mahal. Inilah daya tarik utama rempah, sehingga para pedagang dan penjelajah dari berbagai negara berdatangan, atau melewati Nusantara meskipun harus melalui perjalanan laut amat panjang.

Jangan heran Nusantara dikenal sebagai wilayah perairan yang dipenuhi kapal karam, terutama di jalur perlintasan dan sekitar pusat-pusat perdagangan atau kota pelabuhan. Kapal-kapal itu karam karena peperangan, penyerangan, perompakan, bencana alam, menabrak karang, dan kerusakan teknis kapal.

Ada beberapa jalur pelayaran yang digunakan para pedagang untuk menjangkau Nusantara, sebagaimana buku “Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X-XVI: Kepulauan Banda, Jambi, dan Pantai Utara Jawa” (2017). Jalur paling ramai melalui Selat Malaka menyusuri pantai timur Sumatera. Setelah itu menuju Jawa, bagian tengah, dan timur Nusantara. Jalur lain melalui sisi barat Sumatera melewati Selat Sunda menuju kota-kota di Jawa, Kalimantan, hingga timur Nusantara.

Sejak lama pelabuhan-pelabuhan Nusantara memang mempunyai kedudukan penting, sebagai pelabuhan internasional yang menjadi pusat perdagangan di Asia. Ketika itu, banyak kapal Nusantara dan kapal mancanegara membawa muatan benda berharga dari dan ke perairan Nusantara. Benda berharga itu dikenal dengan sebutan Benda Berharga asal Muatan kapal yang Tenggelam (BMKT), dengan istilah awam ‘harta karun laut’.

Salah satu jalur perdagangan dunia yang menyimpan banyak BMKT adalah jalur rempah. Istilah BMKT mulai dikenal ketika pada 1986 Michael Hatcher dan sindikatnya nyolong barang-barang berharga dari kapal dagang Geldermalsen. Kapal kargo itu karam pada 1751 di perairan Riau, Sumatera. Tak terbayangkan, hasil jarahan dilelang di Amsterdam dengan hasil 17 juta dolar.

Lagi-lagi pada 1998 sindikat melelang puluhan ribu artefak yang dijarah dari perairan Belitung dengan hasil 32 juta dolar AS. Lalu, pada 1999 sindikat mengangkat kapal Tek Sing yang tenggelam pada 1822 di perairan Bangka Belitung. Seluruh muatan dijual melalui Balai Lelang Nagel di Stuttgart (Jerman) pada November 2000. Hasilnya mencapai 30 juta dolar.

Pengangkatan BMKT lain pernah dilakukan di perairan Cirebon pada 2004.  Hasil pengangkatan dari perairan Cirebon itu dilelang di dalam negeri, namun tidak ada peminat. Barang-barang itu  belum sempat dibawa ke luar negeri karena keburu disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.  Pengangkatan BMKT di wilayah Indonesia terakhir kali dilakukan pada 2009.

Dari hasil identifikasi, beberapa kapal karam atau shipwreck itu menunjukkan kapal Arab (Kargo Belitung) dan teknik pembuatan kapal dari wilayah Asia Tenggara (Kargo Cirebon). Beberapa lainnya tidak diketahui karena eksplorasinya tanpa dokumentasi.

Kalau BMKT cenderung bersifat ekonomi, maka kemudian muncul istilah Warisan Budaya Bawah Air (WBBA) atau Cagar Budaya Bawah Air (CBBA). WBBA didefinisikan semua jejak keberadaan manusia yang memiliki karakter budaya, sejarah, dan arkeologi yang berada di bawah air.

Koin Arab dari kapal kargo yang tenggelam di perairan Belitung (Sumber: PT Nautic Recovery Asia)

Ekskavasi arkeologi pernah dilakukan pada situs Intan Wreck dan Berlian Wreck. Menurut arkeolog Sonny Wibisono dalam sebuah webinar, pada dua tempat itu ditemukan berbagai keramik asal Tiongkok dan Eropa, alat perkakas, dan sisa rempah-rempah. Ditemukan juga cangkang-cangkang kemiri dan cendana. Diperkirakan banyak rempah lain dibawa para pedagang, meski sudah hancur termakan usia. Temuan lain berupa alat pipisan dari Nusantara, yang sering kali digunakan untuk menghaluskan rempah-rempah, bumbu, dan jamu tradisional.

Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut sejauh ini ada 463 kapal kuno yang karam di wilayah perairan Indonesia. Kapal-kapal itu karam pada 1508-1878. Dari jumlah itu, baru 10 titik yang sudah dilakukan pengangkatan.

Sebenarnya selain kapal kargo, di dalam laut Nusantara banyak berserakan kapal perang. Namun kapal perang dipandang tidak bernilai ekonomis tinggi. Paling-paling besinya dijual kiloan ke pedagang barang bekas.

Setiap BMKT harus dianggap sebagai cagar budaya karena mengandung pengetahuan sejarah kebudayaan Indonesia. Hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan pihak di luar Nusantara, menurut arkeolog Bambang Budi Utomo, ada di barang-barang itu.

Keberadaan barang keramik, misalnya, menunjukkan adanya hubungan dagang antara kerajaaan di Nusantara dengan Tiongkok. Sementara arca berlanggam seni India menunjukkan hubungan antara kerajaan di Nusantara dengan India.

Ditemukannya banyak lokasi shipwreck atau kapal karam oleh para arkeolog, menjadi bukti penting kedatangan para pedagang di masa lampau, yang dipercaya telah menyusuri perairan Nusantara. Para pedagang diduga membawa berbagai keramik dan kain dari daerah asal mereka, untuk diperdagangkan atau dibarter dengan berbagai rempah dari Nusantara.

Dalam catatan bangsa Tiongkok masa lampau, terdapat penjelasan mengenai berbagai istilah rempah dan pengolahan rempah yang berasal dari Nusantara. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa globalisasi rempah turut menautkan berbagai tradisi yang ada dan diyakini menjangkau ke berbagai penjuru dunia.

Rempah yang dijuluki aroma surga itu telah meninggalkan jejak berupa kapal karam, dan kisah tentang perebutan kekuasaan antara kerajaan lokal dengan bangsa-bangsa asing seperti Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda di jalur rempah. [DS]

Baca juga: