Koran Sulindio – Pihak Bank Indonesia (BI) mengakui ada hubungan bisnis dengan kembali PT Pura Barutama. Namun, BI tidak pernah mencetak uang rupiah ke PT Pura Barutama. Pencetakan uang rupiah dilakukan di Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri). “Ada hubungan bisnis dengan PT Pura memang iya. Karena, PT Pura adalah salah satu pemasok bahan uang dari 14 bahan yang dibutuhkan untuk mencetak uang di Peruri,” tutur Asisten Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI, Eggi Gilkar pada acara “Pelatihan Wartawan Ekonomi dari Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara” di Bandung, Kamis (9/2).
Ditegaskan Eggi, BI hanya pernah mencetak uang rupiah sekali di tempat lain, yakni di Australia, untuk emisi tahun 1999, berupa uang kertas yang mirip plastik. “Saat itu, rupiah dicetak di Australia karena untuk uang jenis ini belum bisa dicetak di Indonesia,” katanya.
BI selama ini, tambahnya, kerap diterpa berbagai isu yang seolah BI tidak nasionalis, misalnya isu uang yang ada gambar palu-arit, mencetak uang di perusahaan lain, rupiah mirip mata uang Tiongkok, dan mencetak uang dengan nomor seri ganda menjelang pemilihan umum. Padahal, semua tuduhan itu tidak benar.
Pihak BI sendiri menyikapi semua itu dengan dua sikap. Pertama: memahami tudingan itu sebagai persepsi masyarakat. Kedua: memahami tuduhan tersebut sebagai fitnah. Jika dianggap persepsi, langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan sosialisasi, misalnya soal tuduhan rupiah yang dinilai mirip mata uang Tiongkok dan soal gambar palu-arit. “Jenis warna itu terbatas, sementara semua negara di dunia juga mencetak uang, sehingga ada persepsi rupiah mirip uang negara lain. Padahal, menurut saya, rupiah tidak mirip dengan uang Cina, justru mirip uang di negara-negara Eropa,” tutur Eggi. Kalau tuduhan dinilai berupa fitnah, lanjutnya, langkah yang ditempuh adalah melaporkan ke kepolisian, seperti tuduhan uang rupiah dicetak di PT Pura Barutama.
Perusahaan tersebut milik Jacobus Busono. Tahun 2015 lalu, Jacobus menerima anugerah Perekayasa Utama Kehormatan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di bidang teknologi material. Jacobus dinilai sebagai tokoh yang banyak berperan dan kerekayasaan, riset, dan pengembangan serta inovasi di industri bidang percetakan yang digelutinya sejak tahun 1970. Bahkan, Jacobus sudah menghasilkan 152 paten. Penyerahan penghargaannya dihadiri oleh Presiden Kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri.
Pada tahun 2015 itu juga, PT Pura Barutama pernah menggugat Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PNRI dinilai telah merugikan PT Pura Barutama sebesar Rp 371,57 miliar. Kerugian tersebut berasal dari pembayaran yang belum dilunasi oleh PNRI dalam proyek e-KTP.
Pada awalnya, PNRI selalu membayar sesuai dengan tagihan yang diminta. Masalahnya muncul pada tahun 2012, ketika pekerjaan selesai. PNRI sebenarnya telah memenuhi 80% tagihan dan menyisakan kewajiban sebesar Rp 400 miliar. Pihak PNRI berdalih, pembayaran baru bisa dilakukan setelah pemerintah mengucurkan dana. Tapi, setelah dikonfirmasi, ternyata pemerintah sudah melunasinya. “PNRI sempat mencicil, sudah dibayar sekitar 50% dari total kekurangannya. Ketika kami bertemu, mereka mengatakan kalau uangnya di-hold oleh KPK,” kata kuasa hukum Pura Barutama, Dita Oktaviani, 17 Ferbruari 2015, seperti dikutip banyak media. [RAF]