Kondisi industri tekstil di Indonesia sedang tidak baik bahkan bisa dibilang sedang menderita sakit yang cukup serius. Setahun kebelakang sejak tahun 2023 banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar dan menutup usaha karena tidak beroleh keuntungan lagi. Kemuduran juga terlihat dari tingginya pemutusan hubungan kerja (PHK) demi efisiensi perusahaan.
Berdasarkan catatan dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), sejak awal tahun lalu sudah 21 Pabrik Tekstil dan Garmen Tutup dan 31 pabrik lain terancam tutup. Imbasnya 150 Ribu Karyawan mengalami PHK dan sebagian lagi harus dirumahkan atau dimutasi.
Angka utilitas industri tekstil juga mengalami penurunan drastis, jika pada tahun 2022 masih di angka 72 persen, maka kini merosot di kisaran 40 persen. Artinya pabrik berproduksi jauh lebih kecil dari kemampuan produksi yang sesunggguhnya.
Ketua umum APSyFI Redma Gita Wirawasta, mengatakan bahwa ada proses deindustrialisasi yang terjadi pada sektor tekstil yang berjalan sejak lama. Namun, kondisi ini diperparah dengan serbuan barang impor yang belakangan semakin merajai pasaran dalam negeri.
Menurunnya peran industri khususnya pada industri tekstil, terjadi saat adanya ASEAN-China Free Trade Agreement pada 2012 atau disebut deindustrialisasi tahap II.
Setelah itu industri tekstil baru mulai membaik pada paruh pertama tahun 2020. Tahun itu hampir 100 persen industri tekstil bisa kembali pulih. Namun pabrik-pabrik tekstil kembali terpuruk pada kuartal III 2023. Salah satu faktornya adalah memanasnya tensi global mulai dari perang di Ukraina hingga Timur Tengah yang berakibat meningkatnya harga bahan baku dan menyusutnya pasar global.
Banjir produk impor
Salah satu faktor terpuruknya industri tekstil nasional adalah produk tekstil impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Tekstil impor yang masuk ke Indonesia didominasi produk Cina yaitu hampir 70 persen dari keseluruhan. Berdasarkan data International Trade Centresepanjang tahun 2022 impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari Cina ke Indonesia senilai US$6,5 miliar atau lebih dari 100 triliun rupiah.
Produk impor dari Cina dapat dengan mudah menguasai pasar lokal karena harganya yang jauh lebih murah dibanding produk industri Indonesia. Misalnya saja kain katun Cina bisa dijual dengan harga Rp 15.000,- per kilogram, sedangkan produk katun lokal harganya bisa mencapa Rp 30.000,-. Selain itu industri Cina juga memiliki inovasi sehingga produk mereka bisa disukai pasar, bahkan mereka juga memproduksi batik cetak dengan aneka ragam motif dengan harga lebih murah.
Barang Cina masuk ke Indonesia melalui jalur resmi maupun ilegal sehingga tidak semua bisa terdata ataupun terpantau. Misalnya tahun 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) hanya mengeluarkan data impor TPT dari Cina senilai US$3,55 miliar, berbeda jauh dengan data ITC yang sebesar US$6,5 miliar. Perbedaan angka ini ditenggarai sebagai impor ilegal karena BPS hanya mencatat angka impor resmi dari bea cukai.
Akibat barang tekstil impor membanjiri pasaran dalam negeri dengan harga murah, maka pengusaha tekstil lokal harus ikut menurunkan harga, bahkan sebagian terpaksa menjual di bawah harga produksi.
“Itulah yang menghantam industri kita dalam dua tahun terakhir ini,” kata Ketua umum APSyFI Redma Gita Wirawasta.
Saat industri tekstil diterpa oleh krisis dan salah satu cara bertahan adalah menurunkan jumlah produksi. Saat stok produksi menurun, maka karyawan yang dibutuhkan pun berkurang.
“Ada yang di-PHK, dirumahkan, ada yang jadwal kerjanya 6 hari menjadi 3 hari,” tambah Redma.
Sepanjang 2023 terdapat 150 ribu karyawan industri tekstil dan garmen diberhentikan. Jumlah itu belum terhitung pemutusan hubungan kerja atau PHK pada industri kecil dan menengah.
Butuh dukungan kebijakan pemerintah
Sejak awal berdirinya industri tekstil di Indonesia tahun 1930-an sebagai peralihan dari usaha tenun rumahan, peran kebijakan pemerintah adalah sebagai pendukung dan penyeimbang agar industri bisa berkembang baik dan kuat.
Pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1950-an pemerintah memberikan dukungan dengan memberikan kemudahan mendatangkan bahan baku dan permesinan dibanding dengan mendatangkan produk jadi. Dukungan lain yang diberikan pemerintah kala itu adalah pembangunan infrastruktur kelistrikan agar mesin-mesin pabrik mendapat suplai energi yang cukup untuk berproduksi penuh. Tujuan utamanya adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri secara mandiri sehingga industri tekstil dalam negeri bisa tumbuh.
Meski sedang sakit, industri tekstil Indonesia merupakan sektor yang cukup penting saat ini. Sektor ini menampung lebih kurang 4 juta pekerja dan menghimpun rantai pasok lebih dari 10 juta orang. Selain itu, hampir 20 persen produk manufaktur dalam negeri berasal dari tekstil.
Iklim industri tekstil dalam negeri yang sedang tidak bersahabat juga terkait dengan kebijakan negara. Diantaranya adalah proteksi dan dukungan yang diberikan pemerintah agar pelaku industri bisa bangkit.
Serbuan barang impor baik yang resmi atau ilegal sebagai permasalahan yang membuat industri tekstil Indonesia terpuruk tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah tidak boleh hanya tergiur mendapatkan keuntungan sesaat dari bea impor tanpa memikirkan pelaku industri dalam negeri yang kian sekarat. Impor resmi maupun ilegal perlu ditekan agar tidak merugikan industri dalam negeri.
Selain itu dukungan pemerintah baik itu dalam permodalan, kemudahan perijinan, pengadaan bahan baku hingga mengatur pasar dalam negeri akan sangat dibutuhkan saat ini. Setidaknya pelaku industri tekstil dalam negeri mempunyai bekal untuk kembali bangkit. [HER]