Sulindomedia – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud)  Kota Yogyakarta sedang mengkaji atau menata ulang bangunan cagar budaya (BCB) yang terletak di Kota Yogya. Langkah ini terkait dengan adanya Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2014 tentang Panduan Arsitektur Bangunan Baru Bernuansa Budaya Daerah yang resmi berlaku mulai 2016.

Ada dua hal yang akan dilakukan Disparbud Kota Yogya. Pertama: mengkaji ulang izin pendirian 21 bangunan di kawasan cagar budaya (KCB)  di Kota Yogya. Kedua: melakukan pemutihanbangunan kuno yang awalnya berstatus warisan budaya (mengacu keputusan wali kota tahun 2009) yang tidak sesuai kategori BCB. “Kami meminta izin 21 bangunan itu segera diajukan kembali ke Disparbud untuk ditinjau ulang. Sedangkan pemutihan bangunan warisan budaya dimaksudkan supaya memperkuat bangunan cagar budaya yang sudah ada,” tutur Kepala Disparbud Kota Yogyakarta, Eko Suryo Maharsono.

Eko menjelaskan, dengan adanya Pergub Nomor 40 Tahun 2014 otomatis setiap pembangunan bangunan fisik di lima KCB—Kraton, Malioboro, Pakualaman, Kotagede, dan Kotabaru—harus mengacu aturan tersebut. Dalam pergub itu disebutkan acuan arsitektur tematik. Pertama: KCB Malioboro menerapkan gaya arsitektur Indis atau Cina. Kedua: KCB Kotabaru menerapkan arsitektur Indis atau kolonial. KCB Kraton, Pakualaman, Kotagede, dan Imogiri menerapkan arsitektur klasik Jawa. Adapun pola arsitektur yang dimaksud mencakup pemilihan bahan, pewarnaan, ornamen, tata letak bangunan, bentuk pintu dan jendela serta atap, pilihan vegetasi, hingga perabotan ruang luarnya.

Meski ada pergub, menurut Eko, bukan berarti di kawasan cagar budaya tidak boleh ada pembangunan. “Hanya saja, semua harus memperhatikan kaidah supaya tidak serampangan,” tuturnya.

Senada, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta Edy Muhammad menegaskan, siapa saja yang ingin membangun atau merenovasi bangunan di KCB harus  menyesuaikan arsitektur di kawasan itu. “Dinas Perizinan tidak akan menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan sebelum mengantongi rekomendasi dari Disparbud,” katanya.

Sementara itu, pemutihan bangunan kuno warisan budaya akan memberikan kepastian bagi masyarakat mengingat selama ini muncul pemahaman yang tumpang tindih antara bangunan warisan budaya dengan BCB.

Dijelaskan, berdasarkan keputusan wali kota tahun 2009, yang dimaksud  bangunan kuno yang dikategorikan sebagai warisan budaya adalah bangunan kuno berusia di atas 50 tahun serta memiliki corak atau arsitektur khas. Akan halnya yang dimaksud dengan BCB, selain kriteria tersebut, juga harus memiliki nilai historis. “Namun, bila ada bangunan kuno masuk kategori warisan budaya berada di KCB yang sudah ditetapkan oleh Pemda DIY, patut diduga termasuk BCB,” kata Eko.

Antara bangunan kuno yang warisan budaya dengan yang masuk kategori BCB juga berbeda penangannya. Untuk BCB yang mengalami perusakan, oknum perusaknya bisa dijerat melalui undang-undang. Ancamannya juga cukup berat dan yang menindak ialah tim dari pemerintah pusat. “Sedangkan bangunan warisan budaya, sanksinya hanya dibangun ulang sesuai corak aslinya,” tutur Eko lagi.

Eko mengungkapkan,dari sekitar 460 bangunan kuno yang masuk dalam kategori  warisan budaya selama ini, setelah didata ulang, terdapat 231 bangunan yang masuk kategori BCB. “Tapi itu masih diduga bisa menjadi BCB. Saat ini masih dilakukan penilaian oleh Tim Ahli Cagar Budaya,” kata Eko.

Dengan mengacu pada penataan KCB, menurut Eko, keunikan corak bangunan harus tetap dipertahankan. “Sehingga Yogyakarta sebagai penyangga kota pusaka di DIY bisa semakin diperkuat. Apalagi, setiap bangunan unik dan selaras dengan penanda kawasan justru memiliki daya tarik serta nilai yang lebih tinggi,” ungkapnya lagi. [YUK/PUR]