Foto Pura yang ada di Desa Patoman, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi/Edhi Prsasetyo

Koran Sulindo – Berada di dusun ini seperti berada di Pulau Bali, dari orang-orangnya, budayanya, rumah penduduknya hingga motif taman di halaman rumah, semua khas Bali. Bunga Kamboja kuning, tanaman khas yang sering dijumpai di kampung-kampung di Pulau Dewata, juga bertebaran.

Ada pula tempat persembahyangan umat Hindu di rumah-rumah penduduk lengkap dengan sajen dan kain penutup warna hitam dan putih kotak-kotak. Bekas upacara sesaji yang sudah mengering maupun yang masih baru gampang dityemui.

Warga Patoman memang masih teguh memegang adat istiadatnya seperti di tanah leluhurnya di Bali. Mereka masih tetap berpola hidup dengan segala bentuk tradisi nenek moyang meskipun tinggal di pulau lain.

Di Jawa, fenomena seperti ini memang hampir ada di setiap kota. Mereka membuat semacam komunitas baru. Lalu membangun pura tempat persembahyangan dan lain sebagainya. Bahkan kesenian dan tradisi nenek moyang mereka masih kerap mereka pertahankan dalam kehidupan sehari-hari.

Desa Patoman, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi ini memiliki suasana dan kondisi lingkungan seperti di daerah asalnya Bali. Ada Pura tempat pemujaan/persembahyaangan, ada bale Gong, yaitu semacam gedung kesenian masyarakat Hindu Bali di Patoman Tengah.

Di tempat ini sering kita lihat seorang Ibu bersama anak anak pesantian lagi belajar menari tari pendhet dan tari lainnya. Situasi semacam ini sama persis seperti yang terjadi di Bali sana. Maka, sering disebut-sebut Patoman adalah miniatur Bali yang ada di pulau Jawa. Berbagai jenis kesenian dari musik dan tari-tarian hingga Janger Bali mereka pertahankan sebagai warisan budaya, di uri-uri melalui regenerasi dan pelatihan, juga pementasan seni budaya dan upacara yang mereka lakukan secara berkala.

Kegiatan belajar menari dan kegiatan keagamaan serta keseharian lainnya seperti pembuatan ogoh-ogoh, rapat bersama dan sebagainya semua mereka lalukan di Bale Gong ini. Pendidikan keagamaan untuk anak-anak juga kerap dilakukan selain di rumah-rumah penduduk yang memang dianggap layak.

Seperti di rumah Made Hardana, Kepala Dusun (Kasun) Patoman Tengah yang halaman rumahnya ada balai yang juga untuk sarana pendidikan keagamaan dan kegiatan pesantian dengan mempelajari berbagai jenis tari-tarian khas Bali. Anak-anak Patoman hingga hari ini masih berada di sebuah komunitas dan suasana yang sama persis dengan apa yang bisa mereka dapatkan di Bali.

Menurut Made, 55 tahun, generasi kelima keturunan Bali di Patoman, ada sekitar 250 kepala keluarga keturunan Bali di desa itu, atau sekitar 700 jiwa seluruhnya. Yang menarik masyarakat  Bali  disini sudah mewakili 8 penjuru masyarakat Hindu Bali yang ada sekarang.

Patoman terbagi dalam beberapa dusun. Sementara Masyarakat Hindu Bali yang ada di Patoman ini menempati wilayah Patoman Tengah. Dan desa Patoman juga terdiri berbagai suku dan agama. Ada Jawa, madura dan Osing yang asli Banyuwangi. Namun, mereka mampu bersatu dalam suasana damai dan kekeluargaan. Setiap masalah yang ada di selesaikan melalui jalur kekeluargaan.

Ada hal yang menarik manakala masyarakat Hindu Bali di patoman melaksanakan perayaan  yang  menampilkan  Ogoh-ogoh  yaitu  patung-patung buatan yang sengaja dipersiapkan untuk melengkapi rangkaian acara Nyepi, mereka pernah diprotes warga non Bali dan juga bukan beragama Hindu hanya karena wilayahnya tidak dilewati karnaval Ogoh-ogoh. Jadi mereka juga ingin menikmati upacara unik yang terjadi setiap tahun itu. Itulah Patoman yang masyarakatnya bersatu dalam segala hal mereka mementingkan persatuan dan kepentingan bersama.

Ogoh-ogoh di Patoman/Edhi Prasetyo
Ogoh-ogoh di Patoman/Edhi Prasetyo

Generasi muda Bali yang gemar menelisik sejarah Bali di Pulau Jawa, Made Widada, mengungkapkan, perpindahan masyarakat Hindu-Bali di Patoman ini berasal dari kampung Bali yang ada di Banyuwangi. Mereka pindah karena alasan pekerjaan dimana saat itu mereka bekerja pada perkebunan tebu milik Belanda. Hingga saat ini sisa bangunan dan rel kereta api pengangkut tebu masih ada di kecamatan Rogojampi dan sekitarnya.

Masyarakat Hindu yang ada di desa Patoman ini memang berasal dari Bali. Dimana masa itu, sejak ratusan tahun yang lalu antara Bali dan tanah Blambangan pernah menjadi satu pemerintahan sebuah kerajaan yang ada di Bali atau sebaliknya. Tercatat dalam sejarah wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Nusantara termasuk Bali. Sehingga perpindahan penduduk dari Bali ke tanah Jawa atau sebaliknya adalah hal yang wajar terjadi pada saat itu.

Karena situasi yang sedemikian itu memungkinkan adanya masyarakat Bali yang tinggal di tanah Jawa khususnya di tanah Blambangan (kota Banyuwangi sekarang) sebagai wilayah terdekat atau sebaliknya masyarakat Jawa yang juga menetap di pulau Bali. Sebagai dampak langsung komunikasi dan hubungan yang dekat bukan hanya dari segi tempat wilayah tetapi juga karena alasan lainnya. Maka hal yang sangat memungkinkan bila terjadi hubungan yang baik antara Jawa dan Bali, baik dari sisi perdagangan maupun kerjasama dalam hal kepentingan-kepentingan lain. Setidaknya terjadi komunikasi secara timbal balik dari segi ekonomi, politik dan budaya.

Mencari kehidupan baru di wilayah lain yang masih dalam satu pemerintahan yang sama atau menurut istilah mereka disebut dengan laku Pengupo Jiwo sudah acapkali terjadi sejak ratusan tahun yang lalu.

Kondisi saat itu yang selalu diliputi suasana perang juga jadi alasan adanya perpindahan penduduk. Seperti tercatat dalam sejarah sejak ratusan tahun yang lalu perebutan kekuasaan atau perluasan wilayah kekuasaan hingga mengakibatkan terjadinya peperangan yang melibatkan pasukan berasal dari Bali dan pasukan dari tanah Jawa. Perebutan kekuasaan wilayah Blambangan atas dua kerajaan besar dari Bali dan Jawa, jadi alasan yang mandasari peperangan tersebut.

Alasan lain yang jadi penyebab masyarakat Bali memilih pergi meninggalkan kampung halamannya adalah karena faktor alam. Beberapa peristiwa meletusnya gunung yang mengakibatkan rusaknya berbagai fasilitas dan tempat bercocok tanam dan sarana pertanian lainnya mengharuskan mereka untuk pindah ke lain daerah yang dianggap aman.

Gunung Agung termasuk Gunung api yang sangat bebahaya di dunia. Gunung tertinggi di Bali berketinggian 3.142 ini berkali-kali memuntahkan laharnya. Menurut Majalah Gumi Bali, Sarad no. 44, letusan pertama terjadi tahun 89 Masehi.

Sementara itu, letusan Gunung Agung yang terjadi pada tahun 1917 merusak ribuan hetare lahan pertanian dengan korban manusia  1.372 jiwa. Letusan terakhir yang sangat dahsyat  yang tidak akan pernah dilupakan orang Bali terjadi pada 17 Maret 1963 mengakibatkan 50.000 ribu hektare lahan subur terkubur lahar, 350.000 hektare lahan lainnya rusak, dengan korban 1148 orang  meninggal, 820 orang mengalami luka-luka.

Gunung Agung termasuk gunung yang sangat berbahaya di dunia. Selain itu Gunung Batur sendiri sejak tahun 1804 hingga sekarang sudah 30-an kali meletus. Terakhir tahun 1963 gunung Batur meletus setelah 6 bulan gunung Agung meletus. Letusan gunung Agung pada tahun 1963 itu disebut-sebut sebagai salah satu letusan terbesar di dunia.

Gunung Batur memang ikut andil dalam pemindahan masyarakat Bali keluar daerahnya. Gunung Batur masuk wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Sejak tahun 1804 hingga sekarang gunung Batur sudah meletus sebayak 30 kali. Peristiwa paling dahsyat terjadi tanggal 2 Agustus hingga 21 September 1926 yang telah menimbun Desa Batur dan Pura Ulan Danu Batur.

Apapun alasannya masyarakat Pataoman telah menjadi sebuah ikon tersendiri bagi Banyuwangi. Sebagai miniatur Bali yang ada di bagian dari Pulau Jawa,  tidaklah  berlebihan  bila pemerintah setempat ikut serta memproteksi keunikan dan kekhasan budaya serta adat istiadat yang sudah berlangsung dengan damai disana. Dan yang terpenting tentunya masyarakat Patoman sendiri yang mewarisi budaya adiluhung dari nenek moyangnya berperan aktif mempertahankan tradisi dan budaya yang dititipkan para pendahulunya itu untuk diwariskan pada generasi yang akan datang.

Demikian potret terkini masyarakat Hindu Bali di Desa Patoman, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi. Cobalah buktikan sendir untuk datang dan menyaksikan kenyataan Patoman  sebagai miniatur Bali, kehidupan mereka masih teguh memegang adat dan tradisi Bali hingga sekarang. (Edhi Prasetyo)