Gelombang Migrasi
Homo Sapiens telah mengembara selama ratusan ribu tahun dari benua Afrika. Kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu, sampailah gelombang migrasi pertama di kepulauan Nusantara.
“Jadi dari 150.000 tahun, 100.000 tahun berjalan mengembara melewati lingkungan yang berbeda. Ada hutan yang lebat sekali, orangnya pasti akan mengecil. Karena untuk mencegah penguapan.Rambut juga mungkin lebih keriting.Jadi semua itu yang menyebabkan kita menjadi berbeda dalam perjalanannya. Beragam, bukan berbeda,” ungkap Prof. Dr. Herawati Supolo Sudoyo, Deputi Penelitian Fundamental Eijkman Institute.
Kepulauan Nusantara menjadi menarik bagi para peneliti genetika karena keberagaman genetika. Lokasi Kepulauan Nusantara yang strategis mengalami empat gelombang migrasi manusia modern. Gelombang pertama yang datang ke Nusantara, berasal dari Afrika secara langsung melewati pantai selatan.
Menurut Herawati, sebagian manusia pada gelombang pertama itu pergi lagi ke satu daratan besar bernama Sahul. Sahul pada zaman itu, atau 50.000 tahun yang lalu, merupakan Papua dan Australia yang sekarang. Gelombang kedua, datang dari mereka yang sebelumnya telah sampai ke Asia daratan.
Gelombang ketiga datang dari Taiwan atau Pulau Formosa. Orang dari Taiwan ini awalnya juga datang dari Asia daratan. Mereka menyebar ke Filipina, Sulawesi, Kalimantan, membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini juga sampai ke Madagaskar hingga Pulau Paskah.
Sementara itu, gelombang keempat datang melalui jalur perdagangan dan pengenalan keagamaan sekitar tahun 700-1300. Orang-orang dari Eropa, India hingga Timur Tengah masuk melalui pelabuhan-pelabuhan di Nusantara.
Baca juga Tangkal Intoleransi, Pendidikan Pancasila Perlu Masuk Kurikulum Sekolah
Tidak Ada Peluang Untuk Intoleransi
Kenapa? Karena melalui tes DNA yang hasilnya menunjukan keberagaman gen, dapat menjadi pengetahuan yang mencerahkan terkait permasalahan “pribumi” dan “non pribumi” maupun sentimen ras, etnis, serta agama yang belakangan muncul (lagi).
Perihal itu, Hamid Basyaib menyebut bahwa, etnisitas, yang seringkali memicu intoleransi hanyalah konstruksi sosial. “Etnisitas ini kan yang dipandang paling core. Itu konstruksi sosial. Maka konsekuensinya, sikap rasisme misalnya, tidak punya dasar ilmiah sama sekali.”
Selamat Ulang Tahun Indonesia!
[Nora E]