Sulindomedia –  Kepada para penelitinya, pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memberikan pembengkalan kegawatdaruratan dan risiko digigit ular atau hewan lain, untuk mencegah kefatalan karena salahnya penanganan. “Sejak dua tahun terakhir, dalam setiap kegiatan ekspedisi penelitian, LIPI memberikan pembekalan kegawatdaruratan dan gigitan ular kepada pada peneliti yang akan berangkat,” ungkap Koordinator Ekspedisi Bioresources LIPI Amir Hamidi dalam acara pembekalan penanganan kasus gawat darurat dan gigitan ular di Cibinong Science Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (13/4/2016).

Untuk itu, tambah Amir, LIPI menggandeng tenaga ahli gawat darurat dari Remote Envenomation Consultancy Services (RECS) Indonesia. Diungkapkan Amir juga, LIPI tahun 2016 ini melepas 46 orang peneliti yang akan melakukan ekspedisi bioresources di tiga wilayah, yakni Sumba, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. “Para peneliti terbagi dalam beberapa tim yang akan melakukan ekspedisi selama 20 hari lebih,” tuturnya.

Dalam setiap ekspedisi, lanjutnya, tak jarang para peneliti mendapatkan rintangan, seperti harus berhadapan dengan hewan-hewan penggigit yang berbisa, seperti ular, kelabang, dan tawon. Dalam setiap ekspedisi, setiap tim dibekali tenaga medis dan peralatan P3K yang memadai.

Juga ada standard yang harus dipenuhi, misalnya jalur evakuasi tim medis untuk memudahkan upaya penyelamatan terhadap risiko kegawatdaruratan karena gigitan hewan. “Pernah ada kejadian, peneliti kita terserang jantung, ini juga bagian dari risiko yang harus kami mampu tangani agar tidak terjadi kefatalan,” kata Amir.

Dalam kesempatan yang sama, tenaga ahli gawat darurat dari RECS Indonesia, Tri Maharani, mengatakan ada banyak kasus gawat darurat yang terjadi di masyarakat dan peneliti saat melakukan ekspedisi. Menurut dia, penanganan pertama dalam kasus gawat darurat menjadi penting untuk penanganan selanjutnya, sehingga mengurangi risiko fatal yang berdampak pada kematian. “Contohnya kesedak, luka bakar, tertusuk benda tajam, atau kecelakaan. Jika ditangani awal secara benar, risiko fatal dapat kita kurangi,” ungkapnya.

Maharani menjelaskan penanganan awal yang salah pada kasus Irma Bule, penyanyi dangdut asal Karawang yang meninggal setelah digigit ular king cobra. “Kita melihat penanganan awalnya salah. Setelah digigit ular itu, sesuai rekomendasi WHO, yang dilakukan mestinya pressure immobilisatio technique,” katanya. Peragaan pressure immobilisatio technique bisa dilihat di video ini.

Diungkapkan Tri, setelah mendapatkan penanganan awal, pasien gigitan ular harus segera dibawa ke rumah sakit dan diberi serum anti-bisa ular untuk mencegah bisa menjalar ke seluruh tubuh. “Sayang, Indonesia hanya memiliki satu serum untuk tiga jenis ular, untuk king cobra belum punya, baru Thailand dan Australia yang memproduksi,” ujar Maharani.

Penanganan secara tradisional untuk penderita gigitan ular, seperti menggunakan keris, batu, atau mengikat dengan rempah-rempah, tambah Maharani, sudah tidak diperbolehkan lagi. “Kami mendorong masyarakat untuk melakukan penanganan sesuai yang direkomendasikan WHO,” kata Maharani. [JAN/PUR]