Suluh Indonesia – Ini adalah bagian ketiga dari artikel Bahder Djohan: ‘Dokter’ Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Untuk membaca bagian pertama dapat Anda klik disini dan untuk bagian kedua bisa Anda baca disini.
Menjadi Menteri PP&K
Pasca perang kemerdekaan, tepatnya pada masa pemerintahan Perdana Menteri Mohammad Natsir, Bahder Djohan ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K). Kabinet Natsir dibentuk pada tanggal 6 September 1950, yang sekaligus merupakan awal kerja Bahder Djohan sebagai Menteri PP&K. Sebagai catatan, ia masuk ke dalam kabinet sebagai orang tidak berpartai atau nonpartai.
Dalam program-program penting dalam Kabinet Natsir (keamanan dan ekonomi bangsa) masalah pendidikan dan kebudayaan tidak mendapat tempat yang khusus atau istimewa. Djohan pun melihat program konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan masih relevan untuk dijadikan program kementeriannya. Ia pun memperbaiki susunan organisasi dengan memanfaatkan tokoh-tokoh pendidikan dan kebudayaan yang ahli di bidang masing-masing.
Dalam kunjungannya ke berbagai daerah, Djohan menyaksikan keadaan pendidikan yang realitanya masih jauh dari memuaskan. Masih banyak yang harus diperbaiki, baik sarana maupun prasarananya, namun hal-hal tersebut tidak bisa diselesaikan sesuai dengan rencana karena kekurangan dana. Dana yang ada pada Kementerian PP&K pada waktu itu hanya dikeluarkan untuk hal-hal yang sangat perlu dan mendesak sifatnya, karena pada masa itu keamanan belum sepenuhnya dapat dicapai, sehingga membuat tugas kabinet cukup berat.
Jabatannya sebagai Menteri PP&K yang pertama hanya berlangsung selama enam bulan karena kabinet mendapat mosi tidak percaya dari salah satu wakil Partai Nasional Indonesia (PNI). Akibatnya pada tanggal 21 Maret 1951 Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Dengan sendirinya Bahder Djohan yang merupakan bagian dari Kabinet Natsir terpaksa harus ikut mundur pula.
Mungkin karena perhatiannya terhadap kebudayaan cukup tinggi, maka Djohan kemudian dipilih menjadi ketua Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Pada masa kepemimpinannya, LKI menyelenggarakan Kongres Kebudayaan ke-2 pada tanggal 6-11 Oktober 1951, yang dihadiri oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri PP&K Wongsonegoro. Dalam pidato selaku Ketua LKI, Bahder Djohan mengatakan bahwa keinsyafan atas harga diri menjadi titik pangkal perjuangan kemerdekaan bangsa selama 40 tahun, pun tidak luput menjelma dalam lapangan kebudayaan. Semenjak zaman penjajahan, telah timbul kesadaran dalam kepribadian manusia Indonesia.
Baca juga: Bahder Djohan: ‘Dokter’ Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Bagian I)
Sebelumnya, pada Kongres Kebudayaan ke-1, kebudayaan telah ditempatkan sebagai bagian dari pembangunan negara dan masyarakat. Selanjutnya Bahder Djohan mengatakan bahwa, “Kebudayaan adalah masalah antara hubungan manusia dan alam, antara adab dan kodrat, antara kultur dan natur, antara akal dan budi. Dalam masyarakat, peradaban merupakan penjelmaan kebudayaan. Dalam kebudayaan Indonesia masa lalu, banyak tempat yang kelihatan kabur, tetapi ada pula puncak yang disinari cahaya gemilang. Oleh karena itu LKI harus menunjukkan perhatiannya pada soal yang konkret yang ditemui oleh masyarakat Indonesia dalam perkembangan ke segala jurusan hidup. Masalah itu adalah hak pengarang, kritik seni, dan sensor film.”
Keputusan Kongres Kebudayaan ke-2 ternyata tidak jauh berbeda dengan isi pidato pembukaan yang disampaikan oleh Ketua LKI Bahder Djohan, yaitu:
1. Mengenai hak pengarang,
2. Mengenai perkembangan kesusastraan,
3. Mengenai kritik seni, dan
4. Mengenai sensor film, dan mengenai organisasi kebudayaan.
Lebih kurang setahun kemudian Bahder Djohan terpilih kembali menjadi Menteri PP&K dalam Kabinet Wilopo. Kabinet ini dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 3 April 1952. Jika masalah pendidikan dalam program umum Kabinet Natsir tidak begitu jelas, masalah pendidikan dalam Kabinet Wilopo mendapat perhatian relatif lebih besar dengan adanya program memakmurkan pendidikan. Djohan pun sudah memahami tantangan yang harus dihadapi dalam upaya melaksanakan program kabinet di bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu ia tidak membuat perubahan dalam program, struktur, dan personalia, sebab yang menjadi tantangan dan memerlukan perhatian adalah dalam masalah pelaksanaan serta dana yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan program. Namun memang kenyataan ekonomi dan politik yang melanda Indonesia pada masa itu kurang begitu stabil.
Pada masa jabatannya yang kedua ada satu peristiwa cukup penting terkait dengan pendidikan dan pengajaran, yaitu masalah bahasa pengantar dalam pembelajaran, terutama di perguruan tinggi. Pengurus Besar Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII) mengusulkan agar bahasa pengantar dalam perkuliahan di perguruan tinggi yang semula bahasa Belanda diganti dengan bahasa Inggris, sebab banyak mahasiswa mengalami kesulitan mengikuti perkuliahan dalam bahasa Belanda. Demikian pula dalam membaca buku-buku wajib berbahasa Belanda.