Bersama pengurus perkumpulan olahraga dan kesenian di ruang perpustakaan Stovia – Bahder Djohan duduk paling tengah. (Foto: Perpusnas)

Pada tahun 1917 Bahder Djohan berhasil menyelesaikan HIS dan meneruskan ke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) Padang. Di MULO inilah ia bertemu kembali dengan sahabatnya semasa di Bukittinggi, Mohammad Hatta. Selain sebagai teman sekolah, Bahder Djohan dan Mohammad Hatta mempunyai hobi yang sama, yang membuat keduanya bertambah akrab, yakni sepak bola. Keduanya bernaung dalam perkumpulan sepakbola yang sama pula, yaitu perkumpulan sepak bola “Swallow” yang hampir semua anggotanya murid MULO Padang.

Hobi lain yang membuat Djohan semakin akrab dengan Hatta adalah masalah agama. Keduanya senang mempelajari dan mengaji AI-Quran. Mereka mengikuti pelajaran agama Islam di MULO secara intensif. Masuknya pelajaran agama dalam kurikulum MULO adalah hasil lobi Taher Marah Sutan bersama Sarekat Usaha selama delapan bulan.

Sebelumnya, tidak ada pelajaran agama dalam kurikulum MULO. Berkat melobi para pejabat terkait agar memasukkan pelajaran agama, maka sejak itu masuklah pelajaran agama ke dalam kurikulum MULO. Guru agama Islam waktu itu adalah Haji Abdullah Ahmad yang merupakan ulama Islam reformis terkemuka di Minangkabau serta pendiri sekolah Adabiah yang mengadaptasi model sekolah Belanda.

Pengaruh pelajaran agama pada Bahder Djohan tampak pada praktik keagamaannya. Sejak di MULO ia lebih tekun mempelajari agama serta mempraktikannya, terutarna dalam shalat fardu. Sejak Sarekat Usaha memperjuangkan pelajaran agama bagi murid-murid sekolah MULO, banyak kaum muda tertarik terhadap kegiatan Sarekat Usaha. Kantor Sarekat Usaha pun menjadi pusat pertemuan antara orang terkemuka dan kaum cerdik pandai di Padang.

Atas bantuan Taher Marah Sutan pula, pada bulan Januari 1918, Nazir Dt. Pamuncak yang datang dari Jakarta (Batavia) sebagai utusan Jong Soematranen Bond (JSB) berhasil mendirikan cabang JSB di kota Padang. Sementara itu Djohan dan Hatta yang sering berhubungan dengan Sarekat Usaha ikut pula terlibat dalam pendirian cabang JSB tersebut. Bahder Djohan terpilih sebagai sekretaris, sementara Hatta terpilih sebagai bendahara.

Baca juga: KH. Ahmad Sanusi, Ulama Penengah Kebuntuan Sidang BPUPKI

Pada tahun 1918, ketika sedang menunggu pengumuman kenaikan kelas MULO dari kelas-2 ke kelas-3, Bahder Djohan menerima tawaran masuk STOVIA, sekolah pendidikan kedokteran di Jakarta (cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Semula ia ingin menyelesaikan MULO lebih dulu, namun peluang itu terlalu berharga untuk disingkirkan begitu saja. Oleh karena itu ia menerima tawaran tersebut. Dengan demikian ia harus menyerahkan jabatannya sebagai sekretaris JSB cabang Padang.

Setelah menyelesaikan semua keperluan yang harus dibawa ke Jakarta, pada awal tahun 1919 Bahder Djohan berangkat ke Jakarta. Berbeda dengan di HIS dan MULO yang mengharuskannya indekost, sebagai pelajar STOVIA ia tidak perlu mencari tempat indekosan karena setiap siswa STOVIA diasramakan. Asrama tersebut berada di dalam komplek STOVIA.

Bahder Djohan pun kembali aktif dalam JSB Jakarta, bahkan pada tahun 1919 ia dipercaya untuk menghadiri Kongres Nasiobal JSB pertama pada bulan Juni 1919 di Jakarta. Saat itu Amir terpilih sebagai ketua Pengurus Besar JSB, Bahder Djohan sebagai sekretaris dan Mohammad Hatta sebagai bendahara.

Rupanya kegiatan JSB kembali mempertemukan Bahder Djohan dengan Mohammad Hatta. Keduanya menjadi semakin akrab setelah Hatta pindah ke Jakarta. Tiap Sabtu sore Hatta datang bertandang ke asrama STOVIA dengan naik sepeda ontelnya untuk kemudian berjalan kaki bersama ke Pasar Baru atau ke Senen. Seringkali mereka bertukar pikiran tentang berbagai kehidupan sosial-ekonomi dan politik, terutama nasib kaum pribumi sambil makan atau sekedar ngopi di wilayah Senen. Djohan yang murid STOVIA ternyata sangat tertarik pada masalah-masalah kebudayaan, sedangkan Hatta yang mempelajari ekonomi tertarik pada masalah politik dan kebangsaan.

Pada tahun 1921 Mohammad Hatta berangkat ke negeri Belanda untuk meneruskan pendidikan, yang membuat Djohan merasa sedikit kehilangan teman berbincang dan berdiskusi. Namun pengalaman hidup yang mandiri semasa di HIS dan MULO membuatnya tidak hanyut dalam perasaan. Sebagai salah satu Pengurus Besar JSB ia ikut memprakarsai penyatuan semua organisasi kepemudaan guna tercapainya persatuan Indonesia. Hingga akhirnya pada 1926 terselenggaralah Kongres Pemuda I. Pada 12 November 1927 Djohan pun menerima gelar Indische Arts (sarjana kedokteran saat itu) sebagai bukti berakhirnya masa pendidikan di STOVIA dengan baik. [Ahmad Gabriel]

Baca kelanjutannya di: Bahder Djohan: ‘Dokter’ Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Bagian II)