Bahder Djohan

Suluh Indonesia – Pada tanggal 30 April – 2 Mei 1926 para pemimpin organisasi pemuda sepakat menyelenggarakan “Kerapatan Besar Pemuda” yang kemudian dikenal dengan nama Kongres Pemuda I di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh hampir seluruh organisasi pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond (JSB), Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studeerende Minahasaers, Jong Bataks Bond, dan Pemuda Kaum Theosofi.

Dalam Kongres Pemuda I ini Bahder Djohan sebagai salah satu Pengurus Besar JSB menyampaikan pidatonya yang berjudul “De Positive van de Vrouw in de Indonesische Samenleving” (Kedudukan Kaum Wanita dalam Masyarakat Indonesia). Pada awal pidatonya Bahder Djohan mengatakan bahwa pemecahan persoalan wanita di negeri ini sama pentingnya dengan pelaksanaan dari sekian banyak cita-cita politik dan ekonomi.

“Wanita Indonesia mestilah berdiri di samping pria, bagi tanah air dan bangsa,” tegasnya. Menurut Djohan, apabila ibu Indonesia menyusui bayinya, ia telah ikut membentuk pemuda harapan bangsa. Karena pemuda berdiri pada garis depan untuk perjuangan bangsa dan tanah air. Para pemuda jugalah yang menjabarkan ide persatuan yang menyatukan suku bangsa Indonesia. Ia pun mengakhiri pidatonya dengan mengatakan, “Maka tidak seorang pun yang menaruh keberatan jika dikatakan di tangan wanitalah terletak hari depan lndonesia.”

Pidato Bahder Djohan dan tokoh-tokoh pemuda lainnya yang terangkum dalam Laporan Kongres Pemuda Indonesia I itu dilarang beredar oleh pemerintah kolonial Belanda karena isinya banyak mengandung persatuan. Dalam kongres itu pula, timbul diskusi mengenai bahasa apa yang akan dijadikan sebagai bahasa persatuan, dan lahirlah ide “Bahasa Indonesia” sebagai bahasa persatuan.

Semangat untuk mencapai persatuan dihembuskan dengan kuat dalam kongres itu, bahkan timbul keinginan kuat agar Indonesia dapat merdeka. Kongres Pemuda I dapat dikatakan memberikan dasar penting pada lahirnya konsep “Ikrar Pemuda” yang akhirnya dideklarasikan sebagai “Sumpah Pemuda” pada Kongres Pemuda II di Jakarta, 28 Oktober 1928.

Inilah isi Sumpah Pemuda yang menggambarkan persatuan beragam suku dan bangsa di Indonesia itu:

“Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”

Baca juga: AK Gani: Nasionalis Flamboyan

Teman Main dan Aktivis Bersama Hatta Sejak Kecil

Bahder Djohan merupakan seorang dokter tamatan School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA) (Indische Arts) yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) dua periode dalam dua kabinet berbeda. Periode pertama pada masa Kabinet Natsir yang berlangsung dari tanggal 6 September 1950 sampai dengan 20 Maret 1951, sedang periode kedua pada masa Kabinet Wilopo yang berlangsung sejak 3 April 1952 sampai dengan 30 Juli 1953.

Bahder Djohan lahir di Lubuk Begalung, Padang, pada 30 Juli 1902, putra seorang jaksa terpandang di Sumatera Barat, bernama Mohammad Rapal gelar Sutan Boerhanuddin, asal Koto Gadang, Agam, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ibunya bernama Lisah asal Padang, Sumatera Barat. Bahder Djohan merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara, lima laki-laki dan lima perempuan.

Sewaktu umurnya menginjak 6 tahun pada 1908, ia disekolahkan di SD “Sekolah Melayu” yang memakai sistem Barat di kota kelahiran ibunya, Padang. Karena ayahnya dipindahkan ke Payakumbuh dan setelahnya ke Pariaman, Bahder Djohan pun terpaksa pindah sekolah ke Bukittinggi. Ia dapat dikatakan sebagai anak yang mudah bergaul dan berteman. Oleh karena itu selama belajar di Bukttinggi ia memiliki banyak teman, baik dari kalangan pelajar maupun masyarakat setempat yang menjadi tetangganya. Salah seorang temannya adalah Mohammad Hatta, seorang pemuda Minangkabau asal Bukittingi.

Pada tahun 1915 ayahnya memindahkan kembali sekolah Bahder Djohan ke Hollandsch Indlandsche School (HIS) yang baru didirikan di Padang. Ia pun harus indekost karena ayahnya masih bertugas di Pariaman. Sekolah ini menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Di sekolah, ia pernah ditanya oleh gurunya, seorang Belanda, tentang keinginannya setelah menamatkan sekolah. Dengan spontan ia menjawab ingin menjadi seorang geolog. Jawaban itu ditanggapi oleh guru Belandanya dengan nada cemooh, “Masa seorang pribumi akan menjadi seorang geolog.”

Cemoohan itu sempat membuat darah mudanya mendidih, karena sangat merendahkan martabat kaum pribumi. la berhasil meredam kemarahannya dan bertekad menyelesaikan pendidikannya dengan cepat agar dapat membuktikan bahwa orang pribumi pun dapat menjadi seorang geolog kalau diperjuangkan dengan penuh semangat.