Koran Sulindo –Meski dibanjiri 665.000 pengungsi Muslim yang melarikan diri dari penganiayaan brutal di Myanmar. Bangladesh menolak dengan sopan tawaran bantuan dari Israel karena tak ingin memicu konsekuensi politik.
Kementerian Luar Negeri Israel menjalin kontak rahasia dengan Bagladesh untuk menawarkan paket bantuan kemanusiaan kepada ratusan ribu pengungsi di negara itu.
Bangladesh mengucapkan terima kasih atas tawaran tersebut, namun menyatakan mereka tak bisa menerima bantuan itu karena perkembangan terbaru konflik di Pelestina.
Penolakan itu membuat Tel Aviv menjajaki ‘rute’ lain untuk memberikan bantuan kepada pengungsi Rohingya, yang masih berada di kamp-kamp Myanmar yang dikelola PBB atau organisasi internasional lainnya.
Israel dikritik secara luas karena menolak untuk menghentikan pasokan senjata kepada Myanmar. Selain mengirim senjata, negeri itu juga melatih pasukan khusus Myanmar. Aktivis hak asasi manusia menuding Israel menjadi bagian dari kekerasan yang dilakukan pasukan militer Myanmar di Rakhine.
Pada bulan November silam, Kementerian Luar Negeri Israel menyatakan “dengan pasti Israel tidak lagi menjual senjata kepada militer Myanmar yang dituduh melakukan pembersihan etnis.”
Namun banyak kalangan menuding pernyataan tersebut hanya mengacu pada penjualan senjata, dan tidak menyebutkan produk terkait keamanan lainnya seperti teknologi pengawasan atau layanan pelatihan militer.
Sepanjang tahun ini, tentara Myanmar melancarkan ‘pembersihan’ di wilayah minoritas Rakhine yang tinggal di negara itu. Menurut berbagai laporan, militer membantai setidaknya 10.000 warga muslim yang memicu pengungsian ratusan ribu Muslim Rohingnya ke Bangladesh.
Pengamat menyebut, kebrutalan milter Myanmar itu sebagai genosida atau pembersihan etnis terhadap minoritas.
Organisasi nirlaba, Medecins Sans Frontieres menunjukkan sedikitnya 6.700 warga muslim Rohingya tewas di negara bagian Rakhine sejak kekerasan meletus pada 25 Agustus lalu. Pembersihan itu dipicu serangan militan Islam terhadap aparat keamanan Myanmar yang memicu pembalasan esktrim dari tentara dan penganut Budha yang menjadi mayoritas di negeri itu.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra’ad al-Hussein menyebut kekerasan tersebut itu sebagai “contoh buku teks tentang pembersihan etnis” dan mengatakan tak terkejut jika nantinya pengadilan internasional memutuskan genosida telah terjadi.
Laporan mengejutkan kebrutalan dan kekejaman tentara Myanmar terus berlanjut ditandai dengan pemerkosaan massal terhadap wanita dan anak-anak di depan ayah dan suami atau anak-anak mereka.
Kelompok hak asasi manusia juga menyatakan terlepas bahwa pemerintah Myanmar setuju menandatangani kesepakatan mengizinkan beberapa pengungsi kembali dari Bangladesh, tentara terus membakar desa-desa hingga banyak dari mereka tak lagi memiliki tempat tinggal.[TGU]