Koran Sulindo – Fidelis Ari Sudarwoto asal Sanggau, Kalimantan Barat, membuat ekstrak ganja untuk mengobati penyakit istrinya. Namun, ia pada 19 Februari 2017 lalu ditangkap petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sanggau karena menanam ganjadi halaman rumahnya. Ketika Fidelis dijebloskan ke penjara, sang istri, Yeni Riawati, akhirnya meninggal pada 25 Maret lalu karena berhenti menerima ekstrak ganja dan juga kesulitan mengakses obat untuk penyakitnya.
Fidelis sendiri tak terbukti menggunakan ganja. Urine-nya bersih.
Menilik kasus tersebut, pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat berpandangan, kasus yang menimpa Fidelis itu dapat dijadikan momentum untuk meninjau ulang aturan narkotika. “Undang-Undang Narkotika tidak seharusnya melarang pemanfaatan zat atau tanaman apa pun untuk kesehatan,” tutur Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero, di Jakarta.
LBH Masyarakat pun mendorong agar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika direvisi. Karena, undang-undang tersebut belum mengakomodasi penggunaan ganja untuk pengobatan. Yohan pun meminta pemerintah mendukung penelitian yang bisa mendukung urgensi revisi undang-undang tersebut. “Ilmu pengetahuan sudah sedemikian maju sehingga efek buruk suatu zat dapat dihilangkan bersamaan dengan mempertahankan sifat baiknya,” tutur Yohan.
LBH Masyarakat juga meminta kepolisian menghentikan penyidikan terhadap Fidelis. “Kasus ini menunjukkan bahwa narkotika tak serta-merta kita memandangnya sepolos itu saja, apalagi soal ganja yang ada manfaat kesehatannya,” kata Yohan.
Penghentian penyidikan, tambahnya, dapat dilakukan melalui Pasal 109 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Surat Penghentian Penyidikan (SP3) bisa diberikan, bergantung pada pertimbangan penyidik terhadap kasus yang bersangkutan. “Justru karena kasus ini sarat nilai kemanusiaan. Bila kasus ini diteruskan BNN, ini dapat menampilkan wajah penegakan hukum yang tidak humanis,” tuturnya.
Yohan melanjutkan, aturan pidana terkait narkoba dibuat untuk menghentikan kekacauan dan akibat negatif ke publik. “Yang dibuat Pak Fidelis ini tak ada kekacauan, dia hanya suami yang berjuang untuk kesembuihan istrinya,” ujar Yohan.
BNN, katanya, mestinya melirik situasi yang dialami anak Fidelis. “Karena ini soal perlindungan anak juga. Anak Fidelis sekarang sebatang kara karena ayahnya ditahan dan ibunya meninggal,” kata Yohan.
Hal senada juga dilontarkan organisasi Lingkar Ganja Nusantara (LGN). “LGN melihat tanaman ganja bisa dipakai untuk pengobatan. Pada kejadian Fidelis, masyarakat dari berbagai kalangan berani share berita dukungan, memperjuangkan ganja untuk keperluan medis,” kata Ketua LGN, Dhira Narayana.
Dhira mengungkapkan, pihaknya sempat mengajukan penelitian mengenai ganja medis ke Kementerian Kesehatan pada Oktober 2014 lampau. Pemerintah pun merespons positifs pada Januari 2015, lewat surat yang ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan.
Sungguhpun demikian, penelitian tak kunjung terlaksana karena minimnya dukungan dari lembaga terkait, seperti BNN. “Itu terhenti karena faktor non-teknis. Saya anggap faktor politik, terutama sekali BNN yang tak mau memberikan lampu hijau,” tutur Dhira.
LGN, lanjutnya, belum berhenti memperjuangkan legalisasi ganja untuk keperluan medis. “Setelah ini, kami terbuka. Kami bicarakan resmi saja di media soal apa yang menghambat [penelitian soal ganja medis],” tuturnya.
Dijelaskan Dhira, kasus Fidelis bukanlah yang pertama kali di Indonesia. Sejak 2010, LGN telah mendokumentasikan puluhan kasus penggunaan ganja untuk pengobatan. Penyakit yang disorot dalam dokumentasi tersebut pun beragam, dari kanker, diabetes, hepatitis C, AIDS, stroke, sampai epilepsi. “LGN berharap pengetahuan khasiat ganja medis menyebar dan pada akhirnya dapat memberi keteguhan pada pemerintah untuk memulai riset ganja medis pertama di Indonesia,” katanya. [PUR]