Badai Resesi Terpa Ekonomi Inggris, Pemerintah Banting Stir

Kenaikan inflasi menyebabkan ekonomi Inggris mengalami kontraksi dan perusahaan menutup operasinya - NYT

GELOMBANG krisis besar yang menerpa perekonomian Inggris kian mendekati puncaknya. Terakhir bank sentral negara itu Bank of England (BoE) secara resmi menyatakan Inggris telah memasuki resesi dan menaikkan suku bunga secara agresif 50 basis poin (bps) menjadi 2,25%.

Tanda-tanda resesi sudah terasa sejak awal tahun 2022 ini, meningkatnya harga-harga kebutuhan harian masyarakat telah memicu inflasi. Pada bulan Juli lalu inflasi telah mencapai 10,1 persen bahkan diprediksi akan terus meningkat tajam hingga 18 persen.

Angka inflasi ini adalah yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir sehingga turut memukul nilai mata uang Poundsterling mendekati 1 dolar AS.

Badan statistik negara Inggris ‘Office for National Statistic’ (ONS) menyebut lonjakan harga pangan sebesar 12,7 persen sejak Juli 2021 menjadi penyumbang lonjakan inflasi Juli 2022.

“11 kelompok makanan dan minuman non-alkohol berkontribusi terhadap tingkat inflasi tahunan, di mana harga secara keseluruhan naik tahun ini,” terang ONS.

Krisis daya beli masyarakat juga terlihat pada nilai upah riil rata-rata yang turun 3% antara April dan Juni, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kondisi ini merupakan pukulan terbesar dalam lebih dari 20 tahun.

Tidak hanya itu, rata-rata tagihan energi rumah tangga yang telah meningkat 54% tahun ini juga akan meningkat lagi 80%, menjadi £ 3,549. Menurut perkiraan sebuah perusahaan riset, Auxilione tagihan rata-rata bisa mencapai £ 7.700 pada April tahun depan.

Kepala ekonom bisnis di lembaga S&P Global Market Intelligence Chris Williamson mengungkapkan ekonomi Inggris sudah masuk dalam jurang resesi.

“Kendala pasokan, melonjaknya harga energi dan kenaikan biaya impor yang terkait dengan melemahnya pound menambah tekanan biaya.” jelasnya, Jumat (23/9).

Pemogokan pekerja

Akibat membengkaknya biaya hidup dan tingginya PHK, jutaan pekerja mengeluhkan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup harian mereka, apalagi saat ini sudah menjelang musim dingin.

Pada bulan September ini, sekitar 155.000 pekerja di Inggris melakukan mogok kerja dan menuntut kenaikan gaji karena inflasi melonjak. Aksi itu dilakukan pekerja kereta api, jurnalis, pengacara, dan pekerja pos mogok kerja selama bebereapa pekan terakhir.

Bahkan, dua serikat pekerja kereta api mengumumkan aksi mogok lanjutan akan digelar akhir bulan ini dengan peserta 14.000 orang. Guru, dokter, dan perawat juga akan turut memberikan suara untuk aksi mogok dalam beberapa minggu mendatang.

Unite and Union, serikat pekerja terbesar di negara itu dengan total 2,7 juta anggota telah menyerukan agar serikat lain bergabung dengan mereka dalam aksi mogok kerja.

Kondisi ini adalah salah satu gelombang pemogokan pekerja industri paling besar yang pernah dialami Inggris sejak akhir 1970-an, ketika inflasi yang merajalela mendorong pekerja untuk melakukan pemogokan massal.

Sementara di kota Liverpool pekerja pelabuhan telah mengumumkan pemogokan sejak 19 September hingga 3 Oktober 2022. Pemogokan dilakukan untuk menuntut kenaikan upah yang terus menyusut akibat kenaikan harga.

Lebih dari 560 operator pelabuhan dan insinyur pemeliharaan yang dipekerjakan oleh Mersey Docks and Harbour Company (MDHC) mogok di Liverpool menyuarakan tuntutan kenaikan gaji 20 persen dan menolak tawaran kenaikan upah senilai 8,3%, kata Unite.

Peel Ports Group, yang memiliki MDHC, mengatakan para pekerja telah menolak kenaikan gaji 8,3% dengan pembayaran satu kali sebesar 750 pound ($853,05). Tuntutan kenaikan gaji serikat pekerja setara dengan sekitar 20%, tambahnya.

Sedang di kota Kent, ratusan pekerja bus akan melakukan aksi ‘walk out’ karena perselisihan tentang upah. Serikat pekerja Unite, yang menyatakan mereka menuntut kenaikan gaji 12,3% untuk pekerja. Serikat itu mengatakan 600 staf akan mogok pada 30 September.

Serikat pekerja mengatakan kenaikan upah “sejalan dengan tingkat inflasi riil saat ini” pekerja melihat upah mereka “terkikis secara riil” dalam beberapa tahun terakhir.

Banting stir, potong pajak

Demi mengakali situasi krisis ekonomi yang semakin menggila, pemerintah Inggris dibawah Perdana Menteri Liz Truss mencoba mengambil langkah dramatis dengan paket pemotongan pajak. Namun langkah itu diikuti pula dengan menaikkan suku bunga bank sentral yang medorong peningkatan pengeluaran masyarakat untuk membayar kredit.

Pemerintah Inggris pada Jumat (23/9) membatalkan rencana pemerintah terdahulu, serta akan mengumumkan paket kebijakan bernilai miliaran poundsterling. Kebijakan anti inflasi itu disebut untuk mendukung rumah tangga dan bisnis yang terkena dampak inflasi.

Menteri Keuangan Inggris Kwasi Kwarteng, yang baru diangkat oleh Perdana Menteri (PM) baru Liz Truss, akan menyampaikan ia akan membatalkan rencana pendahulu Truss, Boris Johnson, untuk menaikkan pajak pendapatan.

Berita itu muncul setelah bank sentral Inggris (BoE) memperingatkan bahwa Inggris tergelincir ke dalam resesi, karena harga bahan bakar dan makanan yang meroket.

“Pajak sebagai jalan menuju kemakmuran tidak akan pernah berhasil,” kata Kwarteng.

“Untuk meningkatkan standar hidup bagi semua, kita tidak perlu menyesali pertumbuhan ekonomi kita. Pemotongan pajak sangat penting untuk ini,” lanjutnya.

Dia juga diperkirakan segera membatalkan kenaikan pajak atas keuntungan perusahaan yang pernah direncanakan Johnson .

Kwarteng juga akan menguraikan biaya keputusan untuk membatasi tagihan energi. Analis dari bank Inggris Barclays memperkirakan biaya paket kebijakan anti inflasi itu bisa mencapai £ 235 miliar (US$ 267 miliar), jauh lebih banyak daripada skema perlindungan pekerjaannya selama pandemi.

Namun langkah pemerintah Inggris dianggap seperti menabur garam dilaut, karena akan menguap seiring dengan lonjakan harga komoditas menjelang musim dingin dan akibat kenaikan bunga. Bahkan para ekonom menyebut ini adalah pertaruhan besar yang jika gagal akan memicu gejolak politik besar.