Koran Sulindo – Hanya dalam 1 bulan pemeriksaan investigatif itu rampung. Hasilnya mencengangkan, dalam Perpanjangan Kerja Sama Pengelolaan dan Pengoperasian Pelabuhan PT Pelindo II dengan dengan PT Jakarta International Container Terminal (PT JICT) ada indikasi kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II minimal sebesar Rp4,08 triliun. (306 juta dolar AS, dengan kurs tengah BI per 2 Juli 2015 sebesar Rp13.337).
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan berbagai penyimpangan terjadi dalam proses perpanjangan perjanjian pengelolaan dan pengoperasian PT JICT yang ditandatangani pada 5 Agustus 2014 tersebut.
“Penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan BPK patut diduga sebagai suatu rangkaian proses yang saling berkaitan,” kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara ketika menyerahkan hasil investigasi itu ke DPR, pekan lalu.
Kerugian ngara terdapat pada kekurangan pembayaran di muka (upfront fee) yang seharusnya diterima PT Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama itu. PT JICT adalah persero yang 51 persen sahamnya dimiliki Hutchison Port Holding, perusahaan milik konglomerat asal Hong Kong, Li Ka-shing.
Pansus Angket DPR RI sebelumnya meminta BPK menginvestigasi beberapa objek seperti Perpanjangan per janjian kerjasama PT JICT antara Pelindo II dengan Hutchison Port Holding (HPH), Global Bond Pelindo II, dan Pelabuhan Kalibaru.
“Indikasi kerugian yang mencapai Rp 4,08 triliun tersebut baru berasal dari kekurangan pembayaran upfront fee oleh HPH,” kata Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka.
Kontrak kerjasama JICT antara Pelindo II dan HPH seharusnya berakhir pada 2019. Jika tidak diperpanjang, maka 100% saham JICT kembali menjadi milik negara. Namun janggalnya, tak ada hujan tak ada badai kontrak perpanjangan dipercepat pada 2014 lalu dan baru berakhir pada 2025 nanti.
Kejanggalan lain berjibun. Mulai dari tidak diinformasikan secara terbuka perpanjangan itu dalam laporan tahunan Pelindo II 2014; perjanjian ditandatangani tanpa ijin Menhub (melanggar UU); penunjukan tanpa mekanisme yang seharusnya; perpanjangan ditandatangani Pelindo II dan HPH tanpa persetujuan RUPS (namun anehnya Menteri BUMN Rini Soemarno menganggap tidak ada yang salah dengan mekanisme tersebut); Deutsche Bank (DB) ditunjuk sebagai financial advisor dengan cara-cara yang bertentangan dengan peraturan perundangan; hasil valuasi DB terkait mulai bisnis perpanjangan JICT patut diduga dipersiapkan untuk mendukung kerjasama dengan HPH; DB sebagai funancial advisor terindikasi konflik kepentingan karena merangkap pekerjaan di Pelindo II sebagai negotiator, lender, dan arranger; dan seterusnya, dan seterusnya seolah-olah membawa pikiran pasti ada orang besar pada kasus ini.
Lino
Saat kasus itu terjadi, Direktur Utama PT Pelindo II adalah Richard Joos Lino. Lelaki kelahiran Rote 64 tahun lalu terlihat sangat marah, dalam berita-berita di stasiun televisi, ketika para penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri langsung di bawah kepalanya, Budi Waseso (Buwas), menggeledah kantor Pelindo II pada 28 Agustus 2015. Penggeledahan itu terkait dugaan korupsi pengadaan mobile crane (Quay Container Crane/QCC) senilai Rp 45 miliar. Lino dengan wajah gusar tampak menelpon kesana kemari.
Kemudian diketahui ia menelpon Menteri BUMN Sofyan Jalil, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tak lama kemudian menelpon Buwas.
KPK akhirnya memang menetapkan Lino menjadi tersangka kasus duggan korupsi pengadaan QCC tahun anggaran 2010 itu karena melakukan penunjukan langsung pengadaan 3 QCC di PT Pelindo II. Komisi Pemberantasan Korupsi menduga crane yang didatangkan tak sesuai spesifikasi. Proses lelang perusahaan penggarap proyek juga dianggap janggal. Lino disangka melanggar pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 Undang-undang 31/1999 yang telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hanya seminggu setelah malam penggeledahan itu, Buwas dilengserkan menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).
Bau tak sedap tentang pencopotan itu merebak. Dugaan intervensi orang kuat menguat. Sebelumnya, Kalla mengaku menelepon Buwas saat penggeledahan berlangsung untuk mengingatkan agar polisi berhati-hati dalam menangani dugaan kasus korupsi di Pelindo II karena kebijakan tak bisa dipidana.
“Saya cuma bilang, seperti biasa, ini kan kebijakan korporasi, ya jangan dipidanakan. Itu prinsip yang kita telah pakai dan sesuai aturan undang-undang tentang administrasi pemerintah,” kata Kalla di Kantor Wakil Presiden di Jakarta, Kamis (3/9/2015).
Siapa Lino sehingga dibela seorang Wapres?
Pada Mei 2009 Menteri BUMN saat itu Sofyan Djalil menunjuknya sebagai Dirut Pelindo II dari entah wilayah mana. Lino tak pernah berkarir di Pelindo sebelumnya atau di kementerian perhubungan, dan namanya tak tercatat dalam daftar calon direksi.
Pada saat RJ Lino menjadi Dirut, posisi kas perusahaan Rp 1,7 triliun. Pada akhir tahun 2010 cadangan kas nya sudah Rp 5 triliun. Bersamaan dengan investasi besar-besaran saat itu, ada berita Lino membeli saham PT Bukaka Teknik Utama sebanyak 46,6%. Bantahan Kalla soal tak ada saham Lino di perusahaan itu melempem sendiri.
Hubungan Lino dengan Sofyan terbangun berkat Ahmad Kalla, adik kandung wapres. Ahmad menyarankan Sofyan meninjau Pelabuhan Aneka Kimia Raya (AKR) di Guangxi, Cina, pelabuhan sungai yang sepi. Lino saat itu direktur di sana. Dan hap! Jadilah Lino Dirut Pelindo II tanpa pernah direkomendasikan namanya ke dewan pengawas.
Pada 2010 Lino melakukan pembelian crane senilai hampir Rp 2,7 triliun yang membuatnya kini jadi tersangka KPK. Pembelian itu lewat jaringan Ahmad Kalla, karena vendornya Huang Dong Heavy Machinery, adalah perusahaan sama yang melakukan pengadaan QCC pertama di pelabuhan milik Kalla di Guangxi tadi.
Selain spesifikasi rendah, ABM dari vendor ini tak cocok dengan pelabuhan di Indonesia. Alat-alat tersebut rusak walau belum pernah digunakan. Kini malah mangkrak di Dermaga 003 Pelabuhan Tanjung Priok.
Setelah investigasi jilid 1 ini, BPK sedang mengaudit investigatif Global Bond dan Proyek Kali Baru, sebagai bahan komprehensif pansus Pelindo Gate dalam memberikan laporan dan rekomendasi akhir kasus-kasus Pelindo II .
“Saya meyakini bahwa LPH tahap pertama ini telah mengungkap adanya penyimpangan yang mengandung unsur Pidana dan harus ditindaklanjuti oleh pejabat penyidik dengan proses penyidikan,” kata Rieke.
Nampaknya, walau Lino telah menjadi tersangka KPK pada Desember 2015, kasus ini akan lama dan berlarut-larut. Audit BPK ini bisa menjadi bensin baru buat KPK. [Didit Sidarta]