Pemerintah menerbitkan aturan baru terkait perlakuan perpajakan dan/atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di bidang usaha pertambangan batu bara. Dalam aturan baru tersebut ditetapkan batas atas sebesar 28 persen dan batas bawah pungutan sebesar 14 persen dari penjualan setelah dikurangi tarif iuran produksi.
Sebelumnya, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dikenakan PNBP produksi yang dikenal dengan istilah Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) yang terdiri dari royalti batu bara (sesuai aturan) dan Penjualan Hasil Tambang (PHT) dengan tarif 13,5%.
Terdapat dua bagian penting dari Peraturan Pemerintah (PP) baru ini. Pada bagian pertama, adalah kewajiban pajak penghasilan bagi para pelaku pengusahaan pertambangan batu bara dilaksanakan.
Para pelaku tersebut adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), pemegang IUPK, pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, dan pemegang PKP2B.
Bagian kedua, pemerintah melakukan pengaturan kembali penerimaan pajak dan PNBP bagi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Pengaturan penerimaan negara itu dilakukan dengan penetapan besaran tarif PNBP produksi batu bara secara progresif mengikuti kisaran besaran Harga Batubara Acuan (HBA).
Saat HBA kurang dari US$ 70 per ton maka tarif yang dikenakan sebesar 14% dikalikan harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B dari hasil produksi per ton.
Jika HBA sama dengan atau lebih besar US$ 70 per ton hingga kurang dari US$ 80 per ton maka tarif yang dikenakan sebesar 17% dikalikan harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B dari hasil produksi per ton.
Ketika HBA sama dengan atau lebih besar dari US$ 80 per ton hingga di bawah US$ 90 per ton maka tarif yang dikenakan sebesar 23% dikalikan harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B dari hasil produksi per ton.
Jika HBA sama dengan atau lebih besar dari US$ 90 per ton hingga di bawah US$ 100 per ton maka tarif yang dikenakan sebesar 25% dikalikan harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B dari hasil produksi per ton.
Terakhir, jika HBA sama dengan atau lebih besar dari US$ 100 per ton maka dikenakan tarif maksimal yaitu 28% dikalikan harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B dari hasil produksi per ton.
Mengenai adanya aturan baru ini, pelaku usaha memastikan siap mengikuti ketentuan yang ada. “Pada intinya kami menghormati peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah,” ungkap Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, Minggu (17/4) sebagaimana dilansir Kontan.
Menurut Hendra pihaknya baru mendapatkan informasi terkait beleid baru ini pada Jumat (15/4) lalu. Untuk itu, pihaknya belum bisa memberikan komentar lebih jauh terkait regulasi tersebut.
Sedangkan Analis Panin Sekuritas Felix Darmawan menilai, beleid ini cenderung bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dari IUPK batu bara. Terbaru, HBA untuk April 2022 ada di level US$ 288,40 per ton. Jika dilakukan perhitungan dengan tarif progresif, maka akan dikenakan tarif untuk HBA US$ 100/ton yang sebesar tarif 28%.
Felix menilai, ini bisa menjadi sentimen negatif yang terbatas bagi emiten batubara secara umum. Karena kenaikan harga HBA juga berdampak pada kenaikan pembayaran pajak ke pemerintah.
Merujuk data Kementerian ESDM, PNBP sektor Minerba dalam lima tahun terakhir rerata selalu berada di atas Rp 40 triliun. Kecuali untuk tahun 2020 yaitu realisasinya di bawah RP 40 triliun. [PAR]