Koran Sulindo – Bengkulu, akhir tahun 1941. Masa itu Bung Karno sedang galau. Di tanah pembuangan itu, ia bertemu dan jatuh cinta dengan Fatmawati. Hasratnya kuat ingin menyunting gadis Bengkulu tersebut. Padahal, ia masih terikat perkawinan dengan Inggit Ganarsih.
Ditengah kegalauan itu, Bung Karno memanggil Ratna Juami, anak angkatnya, dan Asmara Hadi, salah seorang pengikut utama Bung Karno yang juga tunangan Ratna Juami, untuk membicarakan persoalan pribadinya. Mereka bertiga berjalan-jalan menyusuri pantai Pante Panjang. Ditengah pembicaraan, Bung Karno mengatakan: “Aku berharap kalian mengerti. Aku ini hanya seorang manusia. Aku ingin kawin lagi. Bagaimana pendapat kalian berdua?”
Sejurus kemudian, seperti dikisahkan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Asmara Hadi menjawab: “Secara pribadi aku setuju dengan Bapak. Aku menyamakan Bapak dengan Napoleon dan pemimpin besar lainnya dalam sejarah, yang sebagaimana saya baca, mengesankan sebagai laki-laki sejati. Meski demikian, dari sudut pandang politik, itu tidak baik. Walaupun Bapak berda jauh dari rakyat sejak dibuang pada tahun 1934, Bapak tetap menjadi lambang kami. Rakyat berdoa agar Bapak segera bangkit dan memimpin mereka kembali. Dan rakyat tahu dari artikel-artikel Bapak, bahwa waktunya sudah dekat. Apa kata rakyat nanti kalau Bapak sekarang menceraikan Ibu Inggit ketika dia berusia tua yang telah setia mendampingi Bapak selama masa penjara dan pembuangan? Bagaimana pandangan orang?”
Ratna Juami pun mengamini ucapan tunangannya itu.
Meski berat hati, Bung Karno menuruti “nasehat” Asmara Hadi dan Ratna Juami. Ia menunda menikahi Fatmawati. Baru Juni 1943, Bung Karno dan Fatmawati menikah.
Siapa sejatinya Asmara Hadi, hingga Bung Karno mau menuruti nasehatnya? Terlahir dengan nama Ipih Abdul Hadi, 8 September 1914, di Lubuk Ngantungan, Bengkulu. Ia berasal dari keluarga terpelajar. Ibunya bernama Khamaria, dan ayahnya Khobri bin Merah Hosen gelar “Raja Api”.
Setamat HIS di Bengkulu, ia melanjutkan MULO di Bandung. Di kota inilah ia masuk dunia pergerakan. Ia menjadi anggota PNI, dan kemudian Partindo. Ia termasuk salah seorang kader yang digembleng langsung oleh Bung Karno dalam kursus-kursus politik. Jadi, tak heran pandangan politiknya terpengaruh kuat pemikiran Bung Karno.
Ketika Bung Karno menerbitkan Fikiran Rakyat di tahun 1932, Asmara Hadi tercatat sebagai salah seorang anggota redaksi. Di masa itu pula ia mulai menulis puisi yang sebagian besar dimuat dalam Fikiran Rakyat. Sejak itu pula, ia memakai nama pena Asmara Hadi. Bersamaan dengan itu, ia juga menjadi guru di Taman Siswa Bandung.
Pada 1933 ia bergabung dengan Partindo dan terlibat dalam sejumlah gerakan anti-Belanda, sehingga dijebloskan ke penjara. Tatkala Bung Karno dibuang ke Ende, Flores, Asmara Hadi mengikutinya selama hampir dua tahun (1934-1935). Dan sekembalinya ke Jawa, ia pun segera menceburkan diri kembali dalam dunia pergerakan. Ia masuk Gerindo, yang dipimpin Amir Sjarifuddin. Akibatnya, ia berkali-kali masuk penjara pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Salah satunya bersama Amir, ia dipenjara mendekam di penjara selama tiga bulan.
Ketika Perang Pasifik pecah, Asmara Hadi kembali ditangkap menjadi tawanan. Ia terpaksa meninggalkan istrinya, Ratna Juami, yang sedang mengandung. Ia dibawa ke Sukabumi bersama pemimpin pergerakan lainnya, dan ditawan di sana. Dari sana ia dibawa ke Garut, dan kemudian Nusakambangan.
Selain Bung Karno, dalam berjuang Asmara Hadi meneladani Rosa Luxemburg, pejuang revolusioner wanita berkebangsaan Jerman yang gigih, yang sebagian besar hidupnya untuk perjuangan. Kekagumannya terhadap tokoh pejuang wanita itu disampaikannya dalam puisi berjudul Rosa, yang dimuat di Pudjangga Baru, edisi Juli 1937:
Ketika ku tjabar dalam penjara/Wajahmu Rosa datang padaku/Ku jang sedih menuangkan sengsara/ Kau bawakan njala dalam dadaku.
Sunggguhpun lah hilang badanmu, Rosa/ Setelah hidup berjuang selalu/ Djiwamu masih dapat kurasa/ Mendjadi njala dalam djiwaku
Abad akan datang dan lalu/Generasi akan lahir dan hilang/ Timbul dan silam dilautan masa/ Tapi, Rosa, abadi namamu/Di pantheon histori, gilang-gumilang/ Sunar-suminar mengatasi masa!
Setelah Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Asmara Hadi meneruskan perjuangannya sebagai wartawan dan politikus. Pada 1945, ia menjadi anggota KNIP, dan kemudian bergabung dengan PNI yang dibentuk kembali di tahun 1946.
Pada masa revolusi dia pun ikut hijrah ke Yogyakarta, ibukota RI selama masa perang kemerdekaan. Asmara Hadi sempat sebentar bekerja di Kantor Kementerian Pemuda, yang waktu itu dipimpin Wikana—kawan seperjuangannya sejak di Gerindo.
Di dalam PNI, Asmara Hadi termasuk dalam faksi nasionalisme-radikal. Ketika pertengahan tahun 1950-an PNI dikuasai faksi konservatif, dibawah Ketua Umum Soewirjo, ia termasuk salah seorang pengkritik yang keras. Lewat serangkaian tulisan di Suluh Indonesia, sejak Maret 1956, ia mendesak pimpinan PNI untuk menilai kembali kedudukan partai dan melakukan introspeksi.Ia mengingatkan adanya bahaya PNI merasa berpuas diri dengan kekuasaan yang baru saja diperoleh (pasca kemenangan di Pemilu 1955)—dengan jutaan anggota partai, fraksi terbesar di parlemen, dan pengaruh yang besar di pemerintahan. (Rocamora, 1991:259)
Ia mengatakan bahwa partai harus berhati-hati, karena prestasi itu bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan hanya alat untuk mencapai cita-cita Marhaenis dalam suatu masyarakat sosialis. Dia menulis tentang partai-partai seperti Kuomintang yang mulai dengan tujuan-tujuan radikal, namun sesudah memperoleh kekuasaan melepaskan tujuan-tujuan ini dan menjadi reaksioner. Asmara Hadi menyarankan agar PNI menentang oportunisme politik—menentang kompromi cita-cita partai untuk mencapai keuntungan politik yang bersifat sementara.
Asmara Hadi saat itu adalah anggota Komite Khusus DPP PNI, yang ditugaskan merancang rumusan baru ideologi partai. Karena itu, tepatlah bila ia mendesak pimpinan partai untuk kembali menilai kembali kedudukan partai dari segi ideologi partai. Kalau mau menjadi partai pelopor, katanya, “PNI harus melebur ideologi partai ke dalam organisasi partai, membuat peraturan yang lebih keras bagi anggota-anggota baru untuk mencegah masuknya orang-orang yang hanya memanfaatkan partai demi tujuan pribadi.”
Tapi, kritik Asmara Hadi dan kawan-kawannya sesama nasionalisme-radikal itu tidak diindahkan pimpinan PNI. Maka, kelompok ini kemudian mendirikan Partindo. Pendirian Partindo itu diumumkan pada 5 Agustus 1958. Sebagai Ketua Partindo ditunjuk Winarno Danuatmodjo, aktivis PNI yang pernah menjabat Residen Surabaya dan Gubernur Sumatera Selatan. Asmara Hadi menduduki posisi Wakil Ketua II.
Dalam pengumuman pendiriannya disebutkan bahwa partai ini merupakan kelanjutan Partindo sebelum perang dan berdasarkan “Marhaenisme yang sebenarnya”, yaitu yang didasarkan pada “Marxisme yang diterapkan untuk kondisi Indonesia”. Manifesto politik Partindo menelusuri perkembangan perjuangan Marhaenis dari masa sebelum perang, melalui revolusi dan “masa liberal”. Garis besar haluan manifesto mengikuti apa yang sebelumnya diambil para pemimpin pembaruan PNI, seperti Asmara Hadi dan (almarhum) Sarmidi Mangunsarkoro. Dikatakan bahwa meningkatnya “dominasi unsur-unsur borjuis dan liberal” dalam perjuangan telah menyebabkan pengkhianatan terhadap cita-cita revolusioner Marhaenis. Tugas Partindo adalah mengembalikan Marhaenis kepada tujuan-tujuan semula. (Rocamora, 1991: 273-274)
Menurut Joel Rocamora, dalam Nasionalisme Mencari Ideologi (LP3ES, 1991), meski tidak secara terbuka, Bung Karno mendukung pendirian Partindo. Garis politik nasionalisme-radikal yang ditetapkan Partindo sesuai dengan keinginan Bung Karno masa itu. Apalagi, di masa-masa itu, Bung Karno merasa kecewa dengan gerak konservatif PNI dibawah pimpinan Soewirjo.
Asmara Hadi sendiri sempat menjadi anggota parlemen mewakili Partindo. Tapi, partai ini tidak cukup berkembang sebagaimana diharapkan. Justru PNI, setelah dibawah kendali Ali Sastroamidjojo yang didukung kalangan muda nasionalisme-radikal, berhasil membawa PNI berpengaruh lagi dalam pentas perpolitikan nasional di masa Demokrasi Terpimpin. Sayang, pasca Peristiwa 30 September 1965, kekuasaan Bung Karno runtuh dan Orde Baru muncul. Kekuatan politik Sukarnois pun surut.
Di masa Orde Baru itupun, Asmara Hadi berhenti dari politik-praktis. Ia kembali menekuni dunia jurnalistik dan sastra. Profesi sebagai wartawan dan penyair adalah panggilan jiwanya, meski membuat kehidupan pribadi dan keluarganya serba tidak cukup.
Di penghujung hidupnya, hidup Asmara Hadi dan keluarganya terbilang kekurangan. Meski begitu, tak sekalipun ia menyesali jalan hidup yang telah dipilihnya tersebut. Hingga ajal menjemputnya. Asmara Hadi wafat di rumahnya, di Jalan Cilantah No. 24 Bandung, hari Jumat, 3 September 1976 dalam usia 62 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Muslimin Sirnaraga, Jawa Barat. [Satyadarma]