Koran Sulindo – Rusia menuduh pasukan khusus AS diam-diam melatih bekas militan ISIS di sebuah pangkalan militer terpencil di Al Tanf, Suriah. Sebuah tempat yang merupakan persimpangan strategis antara Suriah, Irak dan Yordania.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan wakil Menteri Pertahanan Rusia Jenderal Velery Gerasimov menyebut pemantauan pesawat tak berawak dan citra satelit menunjukkan sebuah brigade militan ISIS berada di Al Tanf. Militan ISIS juga terdekteksi di pangkalan militer AS di Al-Shaddadi, wilayah di timur laut Suriah yang dikuasai Kurdi.
“Mereka dilatih di sana dan benar-benar ISIS. Tapi setelah bekerja kepada AS, mereka mengganti lokasi mengganti nama namun tugasnya tetap sama yakni mengacaukan situasi,” kata Gerasimov dalam sebuah wawancara dengan harian Rusia Komsomolskaya Pravda.
Gerasimov menyebut bekas anggota ISIS itu diberi label ulang sebagai New Syrian Army dan menyebut sedikitnya 750 militan dilatih di Shaddadi, sementara 350 lainnya dilatih Al-Tanf.
Sejauh ini belum ada tanggapan Pentagon atas tuduhan tersebut namun sebelumnya mereka secara rutin konsisten menolak tuduhan kerjasama apapun dengan ISIS. Mereka juga menolak spekulasi bahwa ISIS meloloskan diri ke negara lain. Kenyataannya, militer dan intelijen dengan pasti mengetahui di mana para militan ini berada.
Di hari-hari akhir pengepungan ibu kota ISIS di Raqqa, Suriah muncul bukti-bukti tak terbantahkan yang menunjukkan tentara AS dan Tentara Demokratik Kurdi (SDF) melakukan intervensi untuk menyelamatkan sekaligus memindahkan militan ISIS dari kota tersebut.
Sebuah laporan BBC mendokumentasikan pasukan khusus AS dan unit-unit SDF mengatur sebuah konvoi ratusan kendaraan ISIS untuk mengevakuasi pejuang ISIS, bersama sejumlah senjata, amunisi dan bahan peledak dari Raqqa Oktober lalu.
Laporan tersebut dikonfirmasi bekas juru bicara SDF, Talal Silo yang membelot ke Turki bulan Oktober lalu. Kepada media, Talal menyebut sedikitnya 4.000 militan diusir ke luar kota Raqqa.
Talal juga menyebut operasi serupa juga dilakukan selama operasi pengepungan Manbij di provinsi Aleppo utara dan Al Tabqah dekat Sungai Efrat. Ribuan militan ISIS tersebut diizinkan pergi dengan semua senjata dan amunisi mereka.
Tak seperti yang selalu digembar-gemborkan para pejabat, AS tak pernah berniat benar-benar ‘memusnahkan’ ISIS, sebaliknya mereka justru menggunakannya untuk melawan atau setidaknya melemahkan tentara Suriah. Strategi ini berupaya untuk mencegah Damaskus merebut kembali wilayah-wilayah strategis, seperti ladang-ladang minyak di provinsi Deir Ezzor atau perbatasan Irak.
ISIS bagaimanapun merupakan ‘produk’ sampingan intervensi Washington di Timur Tengah, selain kemudian berfungsi sebagai instrumen dan dalih untuk agresi militer di wilayah yang kaya minyak itu.
Di sisi lain, laporan bahwa tentara AS melatih bekas militan ISIS untuk berperan sebagai milisi anti-Damaskus menunjukkan bahwa Pentagon tengah menyiapkan fase baru yang jauh lebih berbahaya dibanding intervensi militer.
Dalam banyak hal, strategi AS di Suriah tak lebih ‘operasi kotor’ untuk memicu kekacauan yang menjadi dasar untuk perubahan rezim baik melalui penyerbuan, pendanaan atau pelatihan militan untuk menggulingkan pemerintah Presiden Bashar al- Assad sekaligus memasang rezim boneka yang bisa diatur.
Sejauh ini perubahan rezim dengan meminjam tangan pemberontak menemui kegagalan di Suriah. Bersama Irak, mereka bahkan telah mengumumkan kemenangan perang melawan ISIS.
Terlepas dari kemenangan yang seharusnya terjadi dalam perang melawan ISIS, Washington masih tidak menunjukkan indikasi akan mengurangi jumlah pasukannya di Irak atau Suriah.
Sementara itu, Rusia justru mengumumkan perpanjangan kesepakatannya dengan Damaskus mengenai apa yang disebut sebagai ‘pangkalan permanen’ di Pelabuhan Tartus dan di pangkalan udara Hmeymim. Moskow bahkan mengindikasikan akan memperluas pangkalan angkatan laut di Tartus agar bisa mengakomodasi 11 kapal perang, termasuk kapal bertenaga nuklir dan kapal-kapal perusak.[TGU]