Koran Sulindo – “Ada buku baru. Judulnya: American Trap. Indonesia banyak disebut di situ.”
Demikian kalimat pembuka tulisan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang berjudul GE Way. Tulisan yang diunggah di situs pribadinya dan tersebar masif melalui media sosial. Dahlan mantan wartawan Tempo itu menyoroti sosok Frederic Pierucci, warga negara Prancis dan merupakan CEO salah satu anak perusahaan Alstom (perusahaan asal Prancis) di Amerika Serikat.
FBI menangkap Pierucci ketika masih berusia 49 tahun dengan tuduhan ikut dalam kasus korupsi PLTU di Tarahan, Lampung. Dalam tulisannya, Dahlan menyebutkan, Pierucci tentu saja menolak tuduhan itu. Ia ngotot tidak bersalah. Namun, karena posisinya lemah, Pierucci, menurut Dahlan, mengaku bersalah.
Ditambah lagi, FBI disebut menemukan bukti Alstom menyogok anggota DPR dan pejabat di PLN untuk memenangi proyek sekitar Rp 1,5 triliun. Dahlan menyebut angka itu sesuai dengan nilai tukar sekarang.
Pierucci dikenakan Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) atau yang dituliskan Dahlan Iskan sebagai UU Praktik Korupsi di Luar Negeri. Merujuk kepada UU itu, AS bisa membidik siapa pun dan di mana pun asal bersinggungan dengan negeri adidaya itu. Bahkan jika itu hanya berkaitan dengan transaksi keuangan seseorang dan kebetulan melewati wilayah hukum AS, maka orang tersebut bisa dijerat FCPA.
Dengan judul buku demikian, lalu mengapa Dahlan Iskan begitu yakin seseorang seperti Pierucci itu bersalah secara hukum formal? Mengapa Dahlan Iskan tidak menyoroti keberadaan FCPA menjadi alat AS untuk memberantas korupsi secara global dan seringkali ditujukan kepada warga negara asing yang dinilai sebagai musuh? Juga dengan UU itu, memungkinkan AS menjadi “polisi” anti-korupsi untuk seluruh dunia.
Buku Pierucci berjudul American Trap itu tentu saja menarik untuk dikaji terutama kasus-kasus korupsi yang melibatkan warga negara asing. Judul provokatif itu membawa imajinasi kita tentang sebuah konspirasi. Persis seperti yang dipaparkan Pierucci di bukunya bahwa kasusnya tidak mungkin dilepaskan dari konteks persaingan bisnis antara Alstom (Prancis) dan General Electric (AS).
Ia lalu menyebut dirinya sebagai tawanan atau korban dari “perang ekonomi”. Pierucci tak ragu untuk menyatakan, tujuan akhir dari kasusnya itu adalah AS melalui GE akan mengakuisisi Alstom. Lalu, karena akuisisi tidak berjalan lancar dan sempat ditolak, muncullah kasus yang dituduhkan kepada Pierucci.
Akan tetapi, setelah GE berhasil mengakuisisi Alstom sekitar US$ 10,6 miliar pada 2015, tuduhan suap kepada pejabat Alstom berhenti. Kasusnya hanya berhenti di Pierucci. Padahal, Alstom disebut melakukan hal serupa di Bahama, Mesir, Taiwan dan Arab Saudi.
Bercermin dari kasus Pierucci, kita tentu saja perlu memahami dan mengetahui apa itu FCPA. Aktivis anti-korupsi dan juga advokat di kantor hukum Clifford Chance, Wendy Wysong seperti dikutip South China Morning Post pada akhir tahun lalu mengatakan, sudah banyak contoh warga negara asing yang dijerat oleh FCPA. Padahal, mereka bukan warga negara AS, terjadi di luar wilayah hukum AS dan tidak terkait dengan perusahaan AS.
Akan tetapi, seperti yang sudah disebutkan, jika transaksi keuangan, rekening keuangan, surat elektronik atau apapun yang terlacak melalui AS, maka negara tersebut akan menjerat orang-orang non-AS itu dengan hukum korupsi atau lain sebagainya. Sesudah Pierucci, salah satu orang yang juga kena FCPA adalah eksekutif Siemens Jerman bernama Eberhard Reichert.
“Korban” FCPA
Ia ditangkap di Kroasia pada 2017. Setelah itu, ia diekstradisi ke AS. Reichert dituduh terlibat dalam penyuapan senilai US$ 100 juta kepada pejabat Argentina untuk mendapatkan kontrak proyek pembuatan kartu tanda penduduk pada 1996. Setelah kasus ini, AS juga pernah mengadili kasus mantan Menteri Hong Kong Patrick Ho Chi Ping.
Ia didakwa atas tuduhan suap karena menjual senjata secara ilegal ke Libya dan Qatar pada 2015. Dakwaan terhadap Ho terkait dengan penjualan senjata ke Sudan Selatan, sebuah negara di mana perang saudara terjadi pada 2013. Ho pada akhirnya menghadapi tuduhan penyuapan dan pencucian uang.
Kasus teranyar adalah penangkapan aparat kepolisian Kanada atas permintaan AS terhadap Direktur Keuangan Huawei, Sabrina Meng Wanzhou pada akhir Desember 2018. Merujuk dokumen pengadilan Kanada, Huawei disebut sebagai perusahaan teknologi mengoperasikan Skycom Tech co LTD untuk berbisnis di Iran.
Huawei membuat Skycom seolah-olah bukan anak perusahaan. Akan tetapi, Skycom diduga terafiliasi dengan Huawei lantaran rekening perusahaan Skycom dikendalikan atas nama karyawan Huawei. Pun dengan pimpinan Skycom yang rupanya diputuskan oleh Huawei.
Mengutip berbagai laporan media massa, sputniknews.com menuliskan, dokumen pengadilan juga menunjukkan adanya transaksi keuangan Skycom bernilai lebih dari US$ 100 juta melalui lembaga keuangan tertentu yang memiliki kantor cabang di AS. Laporan transaksi keuangan itu terjadi pada periode 2010 hingga 2014. Juga sebuah bukti menunjukkan bahwa Skycom dijual pada 2009 seolah-olah tidak terhubung dengan Huawei walau kenyatannya perusahaan tersebut tetap dikontrol setidaknya hingga 2014.
Karena kasus yang melibatkan Sabrina itu, buku Pierucci pun masuk dalam daftar terlaris di Tiongkok. Sejak diterbitkan pada 1 Mei lalu di Tiongkok, buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Mandarin itu menduduki posisi puncak daftar buku baru terlaris di situs perdagangan elektronik terpopuler di sana. Disebutkan ada 17 ribu pelanggan yang mengulas buku tersebut.
Buku tersebut pun pada akhirnya sampai juga di meja Ren Zhengfei, ayah Sabrina sekaligus pendiri perusahaan teknologi Huawei. Bahkan kantor pusat Huawei menjadikan buku Pierucci sebagai bingkisan kepada pengunjung yang mendatangi kantor perusahaan tersebut. Kisah Pierucci dinilai sama dengan apa yang dialami Sabrina. Kasus Pierucci disebut kisah “Huawei” versi Prancis.
Kasus terbesar yang pernah terjadi dengan penggunaan FCPA untuk warga non-AS melibatkan perusahaan energi nasional Brasil: Petrobas. Kasusnya diduga berkaitan dengan penyuapan senilai US$ 853,2 juta. AS menangani kasus itu setelah Petrobas ditemukan mengakses pasar saham di AS yang merupakan wilayah hukum AS.
Karena jangkauan luas FCPA itu, maka sangat memungkinkan AS untuk menyidik kasus korupsi baik yang melibatkan secara langsung orang, perusahaan AS maupun yang non-AS. Dalam beberapa dekade, apa yang dilakukan AS saat ini merupakan perpanjangan dari kebijakan luar negerinya yang menjadi bagian dari sanksi ekonomi.
Sanksi ekonomi selama bertahun-tahun digunakan untuk mengisolasi negara-negara seperti Kuba, Rusia, Korea Utara, Sudan dan Suriah. FPCA berbeda dengan sanksi ekonomi yang dirancang secara politis dan terbuka untuk menekan rezim yang ditargetkan AS. Tidak hanya perusahaan maupun individu yang dilarang melakukan perdagangan dengan lembaga AS. Karena dominasi dolar AS, maka ada embargo tidak resmi juga dikenakan kepada negara lain yang diketahui melakukan perdagangan dengan negara yang terkena sanksi.
Itu terjadi terhadap Deutsche Bank pada 2015 yang dikenai denda senilai US$ 258 juta karena ketahuan berbisnis dengan Iran dan Suriah. Kendati Deutsche adalah milik Jerman, tapi faktanya mereka punya bisnis di AS dan menggunakan dolar sehingga harus mematuhi sanksi AS. Dan sanksi itu selalu digunakan sebagai alat politik serta lebih agresif dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun ini AS menargetkan sanksi ekonomi kepada perusahaan teknologi Tiongkok ZTE setelah diketahui melanggar embargo perdagangan karena berbisnis dengan negara-negara yang terkena sanksi. Ketika ketegangan geopolitik semakin meningkat, mungkin saja perusahaan-perusahaan Tiongkok lainnya juga menjadi target selanjutnya, termasuk Indonesia? [Kristian Ginting]