Koran Sulindo – Pertemuan tingkat tinggi antara Pemimpin Republik Rakyat Demokratik Korea Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump terancam batal.
Rencana pembatalan pertemuan itu menurut Pyongyang dipicu latihan militer gabungan AS dan Korea Selatan.
Latihan perang gabungan bertajuk ‘Max Thunder’ yang akan digelar di Korea Selatan itu menurut rencana bakal melibatkan sedikitnya 100 pesawat.
Pyongyang menganggap manuver latihan militer tersebut adalah kedok untuk invasi Korut.
Jong-un dan Trump merencanakan pertemuan tingkat tinggi di Singapura, 12 Juni 2018 membahas beberapa isu utama termasuk denuklirisasi di Semenanjung Korea dan pencabutan sanksi ekonomi.
Mengomentari rencana pembatalan KTT tersebut, Trump enggan berspekulasi dan bersikeras bahwa denuklirisasi Semananjung Korea harus terjadi.
“Kita akan lihat, tidak ada keputusan kami belum diberitahu sama sekali. Kami belum melihat apa-apa, kami belum mendengar apa-apa,” kata Trump seperti dikutip dari Reuters, Kamis (17/5).
“Kami belum diberitahu sama sekali. Kami belum dengar apa-apa. Lihat nanti. Apapun yang terjadi, terjadilah,” kata Trump.
Gedung Putih sebelumnya berharap KTT AS-Korut tetap berlangsung sesuai jadwalnya.
“Presiden siap jika pertemuan itu berlangsung,” kata juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders kepada Fox News. “Jika tidak, kami akan melanjutkan kampanye tekanan maksimum yang sedang berlangsung.”
“Kami akan melihat seberapa serius Korea Utara menyatakan hal itu, sembari terus berkoordinasi dengan sekutu kami, Korea Selatan,” kata Sanders.
Nasib Gaddafi
Pyongyang menghadapi tekanan AS untuk mewujudkan denuklirisasi di semenanjung. Sebelumnya, Pyongyang mengaku tidak tertarik pada KTT AS-Korut jika hanya terfokus pada program senjata nuklir Korea Utara.
“Jika AS mencoba memojokkan kami dengan memaksakan melucuti nuklir secara sepihak, kami tidak lagi tertarik pada dialog itu,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Korut Kim Kye-gwan dalam sebuah pernyataan.
“Tidak dapat dihindari untuk mempertimbangkan kembali apakah akan menanggapi KTT dengan AS pada bulan depan,” kata Kim.
Lebih lanjut Kim menuding Penasihat Keamanan Nasional AS, John Bolton sebagai biang keladi kegagalan pertemuan itu. Bolton mendesak Pyongyang agar segera meninggalkan ambisi senjata nuklirnya yang dilakukan Libya.
“Kami menjelaskan kualitas Bolton yang sudah ada di masa lalu, dan kami tidak menyembunyikan perasaan jijik kami terhadapnya,” kata Kim.
Jong-un jelas tak mungkin melepaskan program nuklirnya ketika ia membayangkan nasib Saddam Hussein di Irak atau Moammar Gaddafi di Libya. Tanpa nilai tawar apapun mereka segera ditusuk sampai lumat oleh AS dan sekutu-sekutunya.
Lalu mengapa Kim merasa harus berbeda dengan kedua tokoh itu jika ia mesti merelakan program nuklirnya. ? Jadi bagaimana Cina berhasil meyakinkan Kim agar tidak perlu khawatir?
Pertanyaan itu memang belum sepenuhnya terjawab, apakah Cina –dan mungkin Rusia- akan berdiri di belakang DPRK jika meraka diserang AS?
Jelas jaminan seperti itu tak akan pernah terjadi, namun tahun 2017 Beijing dengan tegas menyatakan jika DPRK meluncurkan rudal yang mengancam tanah AS terlebih dahulu dan AS membalas, Cina akan tetap netral.
Tapi jika AS dan Korea Selatan melakukan serangan dan mencoba menggulingkan rezim Korea Utara dan mengubah peta politik di Semenanjung Korea, Cina memastikan bahwa mereka bakal mencegah melakukan hal itu.
Pada Maret 2018, Jong-un mendadak menggelar lawatan ke Beijing dan bertemu dengan pemimpin tertinggi Cina, Xi Jinping. Selama empat hari kunjungannya itu, Kim disambut karpet merah sekaligus dipaksa duduk membahas denuklirisasi sekaligus revitalisasi ekonomi.
Kepada Kim, Xi menawarkan integrasi ekonomi yang luas negeri semenanjung itu dengan Cina. Selain itu ia juga didorong untuk menormalkan hubungan dengan rekannya di selatan dengan jaminan denuklirisasi.(TGU)