Ilustrasi: Pelabuhan Arun Lhokseumawe/antarafoto

Koran Sulindo – Pemerintah menetapkan kawasan Kilang Arun Kota Lhokseumawe, kawasan Dewantara, dan Kawasan Jamuan di Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh sebagai kawasan ekonomi khusus. Kebijakan itu untyuk mengembangkan kegiatan perekonomian pada wilayah Kota Lhokseumawe dan wilayah Kabupaten Aceh Utara yang  bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional.

Keputusan itu ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 17 Februari lalu.

Kawasan Ekonomi Khusus Arun, menurut PP tersebut, memiliki luas total 2.622,48 hektare, terdiri atas Kawasan Kilang Arun Kota Lhokseumawe Provinsi Aceh seluas 1.840,8 ha; Kawasan Dewantara Kabupaten Aceh Utara Provinsi Aceh seluas 582,08 ha, dan Kawasan Jamuan Kabupaten Aceh Utara Provinsi Aceh seluas 199,6 ha.

Kawasan Ekonomi Khusus itu terdiri atas Zona Pengolahan Ekspor, Zona Logistik, Zona Industri, Zona Energi, dan Zona Pariwisata.

Dengan adanya PP ini, maka Gubernur Aceh menetapkan badan usaha pembangun dan pengelola Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe dalam jangka waktu 90 hari sejak PP ini diundangkan.

“Badan usaha sebagaimana dimaksud bertanggung jawab atas pembiayaan pembangunan dan pengelolaan Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe,” bunyi Pasal 5 ayat (2) PP ini.

Badan usaha itu bertanggungjawab membangun Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe sampai dengan siap beroperasi dalam jangka waktu paling lama 3 tahun sejak PP itu terbit.

LNG

Sebelumnya, wilayah ini dikenal karena memproduksi gas alam cair (LNG).  PT Arun NGL Co sudah berhenti beroperasi sejak Oktober 2014. PT Arun telah mengekspor LNG sejak 1978 sebanyak 4.269 kapal hingga tahun itu.

Sejak 2014 itu pengoperasian kilang LNG dihentikan. Namun kilang kondensat yang sesuai kontrak akan berlangsung hingga 2018 dan pabrik utilities yang merupakan pabrik penyuplai bahan baku seperti air, listrik, masih beroperasi.

Setelah Oktober 2014 itu, kilang PT Arun yang nilai asetnya sekitar Rp 3 triliun itu akan dijadikan terminal regasifikasi. Pertamina sudah membentuk perusahaan baru bernama PT Perta Arun Gas (PAG) untuk mengelola proyek tersebut. Pemerintah Aceh mendapat 30 persen saham PT PAG dalam mengelola gas di eks kilang gas Arun. Sedangkan 70 persen lagi saham PAG merupakan milik Pertamina.

Pada masa Presiden Joko Widodo wilayah itu diubah menjadi Terminal Penerimaan, Hub, dan Regasifikasi LNG. Aceh disebut-sebut akan memegang peranan penting bagi bisnis gas alam PT Pertamina (persero) di masa mendatang.

Fasilitas baru tersebut merupakan hasil modifikasi kilang yang mengubah gas alam menjadi gas alam cair (Liquid Natural Gas/ LNG). Perubahan LNG dari gas alam merupakan pertama kali terjadi di dunia.

Arun akan menjadi tumpuan utama bagi pemenuhan kebutuhan gas industri dan listrik, tidak hanya di wilayah Nangroe Aceh Darussalam, tetapi juga wilayah Indonesia lainnya.

Dengan status sebagai hub yang memiliki potensi kapasitas storage LNG sebesar 12 juta ton per tahun, Arun memungkinkan Pertamina untuk mencari sumber pasokan LNG yang kompetitif dari berbagai sumber dan memasok berbagai destinasi pasar.

Fasilitas tersebut dapat menjadi pengumpan bagi fasilitas Terminal Penerimaan dan Regasifikasi LNG ataupun Floating Storage and Regasification Unit yang sudah ada maupun yang akan dibangun Pertamina.

Selain telah mendapatkan komitmen pasokan dari kilang-kilang LNG domestik, Pertamina juga sudah memastikan pasokan dari sumber-sumber luar negeri. Pertamina mendapatkan kepastian pasokan LNG dari Cheniere Corpus Christi, Amerika Serikat sebanyak 1,5 juta ton mulai 2019 selama 20 tahun. Selain itu dari Afrika sebanyak 1 juta ton per tahun, mulai 2020 untuk jangka waktu 20 tahun.

Tumbuhkan Industri di Aceh

Direktur Utama PT Perta Arun Gas, bagian dari usaha PT Pertamina (Persero), Teuku Khaidir, seperti dikutip Kompas, mengatakan Arun yang beroperasi sebagai fasilitas regasifikasi gas alam cair (LNG) sejak Februari 2015 belum dimanfaatkan optimal untuk kawasan Aceh. Pelanggan utama fasilitas regasifikasi LNG Arun sejauh ini adalah pembangkit listrik milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) di Sumatera Utara serta Kawasan Industri Medan.

Setiap bulan, Arun menerima kiriman LNG dari Blok Tangguh, Papua, rata-rata 138.000 meter kubik.

“Beroperasinya fasilitas regasifikasi LNG Arun ini diharapkan dapat merangsang tumbuhnya kawasan industri di Aceh sebagai penyerap gas. Fasilitas regasifikasi di Aceh belum optimal pemanfaatannya, tetapi justru dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dan industri di Medan,” kata Khaidir, Juni 2015.

Terminal LNG Arun juga berencana mengembangkan bisnis sewa fasilitas penyimpanan LNG. Ada empat kilang LNG di Arun yang masing-masing berkapasitas 127.000 meter kubik. Dari empat kilang tersebut, dua kilang di antaranya akan dipakai untuk fasilitas penyimpanan.

PT Pertamina Gas, anak usaha PT Pertamina (Persero), mengatakanakan  mengembangkan jaringan gas kota di Lhokseumawe. Jaringan gas kota dikembangkan dari terminal LNG Arun. Namun, Pertamina Gas belum mendapat mandat dari pemerintah untuk mengembangkan jaringan gas kota itu.

Terminal LNG Arun diresmikan Presiden Joko Widodo pada 9 Maret 2015. Terminal LNG Arun berkapasitas 405 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), dan kini dioperasikan PT Perta Arun Gas, anak usaha PT Pertamina Gas.

Terminal LNG Arun sebelumnya bernama PT Arun NGL yang dikelola Pertamina (dengan kepemilikan saham 55 persen), Mobil Oil Indonesia Inc (memiliki 30 persen saham), dan Japan Indonesia LNG Co (kepemilikan saham 15 persen), sejak 1970-an. Setelah berhenti beroperasi pada Oktober 2014, seluruh aset dikembalikan ke negara.

Harapan Baru Rakyat Aceh

Kemiskinan di Aceh mencapai 17%, paling banyak di Aceh Utara yang merupakan lokasi Kilang LNG Arun. Pemerintah Daerah mengapresiasi langkah Pemerintah Pusat yang menjadikan eks kilang ini menjadi terminal regasifikasi, sehingga manfaatnya akan sangat besar, investor akan banyak masuk ke Aceh.

Dahulu Lhokseumawe terkenal dengan kilang seluas 2.000 hektar ini. Belum lagi aset lainnya, seperti perumahan karyawan yang luas dan bangunannya paling bagus di Lhokseumawe, sampai tersedia lapangan golf.

Namun sampai kini Lhokseumawe di luar kawasan itu masih miskin. Bandara Udara Malikus Saleh di Lhokseumawe. Landasan pacu (runway) di bandara tersebut pendek, tidak bisa didarati pesawat sekelas Boeing atau Airbus. Hanya bisa pesawat kecil terutama pesawat baling-baling. Infrastruktur bandara lainnya, seperti bangunan bandara masih seadanya. Pukul 18.00 WIB ke atas, tidak boleh pesawat terbang atau mendarat di bandara tersebut.

Posisi bandara Malikus Saleh ini sangat penting. Selama ini masyarakat yang ingin ke Lhokseumawe bisa melalui Bandara Kualanamu (Medan) atau Bandara Sultan Iskandar Muda (Banda Aceh). Tapi hanya ada satu rute penerbangan setiap harinya. Karena pesawat yang menuju Lhokseumawe kapasitasnya tak lebih dari 30-50 penumpang, sehingga rute jalur udara sangat terbatas.

Bila jaminan pasokan energi terpenuhi, lahan untuk industri terjamin, listrik menggunakan gas bumi (PLTG) tersedia, bandara infrastrukturnya bagus, pelabuhan tersedia juga, semoga tinggal menunggu waktu. Lhokseumawe yang dulu terkenal penghasil LNG, akan berubah menjadi menjadi kota industri.

Kebijakan menetapkan Lhokseumawe sebagai kawasan industri khusus harus dimanfaatkan sebaok-baiknya untuk kesejahteraan warga kota itu. [Setkab.go.id/DAS]