Asimilasi dan Akulturasi Budaya Pada Arsitektur Nusantara

Masjid Demak, sebagai contoh bentuk akulturasi budaya Islam dan Hindu pada arsitektur rumah ibadah (foto: satriacendekia.com)

Suluh Indonesia – Kebudayaan tak dapat dilepaskan dari masyarakat pendukungnya. Ia membentuk satu ikatan senyawa yang telah menyatu dengan masyarakat, dari sejak awal terciptanya masyarakat itu sendiri.

Seiring perjalanan waktu, kebudayaan terus mengalami asimilasi, akulturasi, tumbuh, dan berkembang. Serta, mengalami modernisasi bersamaan dengan masyarakat pendukungnya, dan akibat dari interaksi satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

Jalur Rempah dan Jalur Sutera menyediakan wahana bagi pertukaran pengetahuan, saling-pemahaman, dan interaksi budaya di antara berbagai masyarakat di dunia. Jejaknya dapat kita saksikan pada rumah-rumah adat dan bangunan-bangunan monumental yang tetap terjaga hingga sekarang.

Pada mulanya, arsitektur tradisional tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan umat manusia. Semakin pesat dan kompleks pertumbuhan serta perkembangan kebudayaan yang dianut oleh suatu masyarakat, semakin maju dan kompleks pula arsitektur yang dimilikinya.

Arsitektur Nusantara era vernakular, misalnya. Ini dapat dilihat pada model rumah adat, seperti Rumah Tongkonan khas Toraja, Rumah Gadang khas Minangkabau, Rumah Joglo khas suku Jawa, dan lain-lain.

Selanjutnya, kita mengenal arsitektur era Hindu-Budha. Contohnya dapat dilihat pada sejumlah bangunan bersejarah seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Muara Jambi, dan lain-lain.

Kemudian, arsitektur Islam yang sampai ke Indonesia salah satunya adalah melalui asimilasi dan akulturasi budaya. Ini perlahan-lahan juga membawa dampak pada gaya arsitektur di masa itu.

Pada masa awal kerajaan Islam, arsitektur Hindu-Budha masih mendominasi bangunan-bangunan seperti istana dan masjid.

Namun, seiring berjalannya waktu, elemen dekorasi dan ornamen khas Timur Tengah dan India mulai diadopsi. Ini dapat dilihat pada Masjid Baiturrahman di Aceh, Istana Maimun di Medan, Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, dan lain-lain.

Masuknya bangsa Portugis dan Belanda menandai babak baru arsitektur Nusantara. Arsitektur era kolonial ini bisa dilihat, misalnya, pada Istana Kepresidenan di Bogor, yang dulu diberi nama Istana Buitenzorg. Juga, pada bangunan-bangunan tua seperti Gedung Sate di Bandung, Lawang Sewu di Semarang, Kawasan Kota Tua Jakarta, dan lain-lain.

Masa penjajahan Belanda yang sangat panjang membawa dampak besar pada pengaruh arsitektur bangunan di Indonesia. Gaya Arsitektur Eropa mendominasi bangunan-bangunan tua di Indonesia. Tentu saja model arsitekturnya mengalami berbagai penyesuaian dengan iklim tropis di negara kita.

Selanjutnya, muncul arsitektur era kemerdekaan. Misalnya, Hotel Indonesia, saksi bisu politik mercusuar pasca kemerdekaan. Setelah merdeka pada 1945, Indonesia mulai melakukan pembangunan infrastruktur secara masif yang didukung oleh politik Bung Karno.

Dengan didasari semangat menghapus jejak kolonialisme saat itu, pemerintah Indonesia membongkar bangunan lama dan mendirikan bangunan baru. Dengan mengutamakan fungsi, kenyamanan, kesederhanaan, serta kesesuaian dengan iklim di Indonesia.

Di era tersebut, banyak bangunan yang mengadopsi gaya desain modern, seperti Masjid Istiqlal, Hotel Indonesia, Gedung DPR-MPR, dan lain-lain.

Selanjutnya, arsitektur era modern dan kontemporer. Inilah era sekarang, di mana gaya arsitektur Nusantara telah dipengaruhi oleh arsitektur modern dan kontemporer.

Gaya arsitektur ini sangat fleksibel mengikuti tren dan membuka ruang bagi para arsitek untuk terus bereksplorasi sesuai perkembangan zaman.

Banyak contoh arsitektur kontemporer Indonesia yang bisa kita nikmati sekarang. Di antaranya, Menara Phinisi Universitas Negeri Makasar, Museum Tsunami Aceh, Gedung Perpustakaan Universitas Indonesia, dan lain-lain. [WIS]

Baca juga Hunian di Kota Yogya Harus Vertikal untuk Kurangi Kepadatan