Menggugat Arsip Nasional mengingatkan kembali bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, bukan mendadak ada; negara ini dibentuk melewati suatu proses yang tidak sederhana oleh sejumlah orang yang merasa mampu dan peduli –mereka yang kemudian disebut sebagai “Bapak Bangsa”. Proses itu, antara lain berupa rapat-rapat intensif dua badan yang dibentuk, yaitu BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Dalam setiap rapat beberapa orang ditugaskan membuat notulen dengan tulisan steno (tulisan berupa “tanda-tanda”, berguna untuk menulis cepat). Sesudah itu, catatan steno tadi diketik ulang, dan setiap habis rapat, ketua rapat akan mengingatkan kepada semua saja yang sudah berbicara untuk nanti mengecek dan mengoreksi transkripsi dari tulisan steno tadi, sesuai atau tidak dengan yang mereka sampaikan. Harap diingat bahwa tidak semua yang berpidato membaca dari makalah; banyak yang menyampaikan pidato secara lisan, termasuk pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Dengan demikian, arsip autentik rapat-rapat BPUPK dan PPKI bisa dianggap akurat, bila tak 100%, katakanlah 99% mengingat manusia tidak sempurna.
Nah, buku ini menggugat bahwa Asip Nasional Republik Indonesia (ANRI), lembaga negara yang berada di bawah Sekretariat Negara, yang seharusnya membantu mereka yang membutuhkan arsip-arsip yang disimpan di ANRI, ternyata dalam beberapa hal –setidaknya mengenai arsip BPUK dan PPKI menurut buku ini—tidak terbuka. Buktinya antara lain, Marsillam Simanjuntak (yang pernah menjadi menteri di masa Abdurrahman Wahid) tak bisa membaca arsip tersebut di ANRI padahal ia memerlukannya untuk menulis skripsi tentang negara integralistik.
Gugatan itu rasanya memang perlu disampaikan, ketika sejumlah masalah di Republik ini muncul dan menjadi polemik. Masalah-masalah tersebut ternyata –meski tak sama tapi serupa—sudah dibicarakan dan “diselesaikan” di sidang-sidang BPUPK dan PPKI. Umpamanya, bagaimana Ki Bagus Hadi Kusumo yang menggariskan bahwa negara yang hendak didirikan haruslah berdasarkan syariat Islam mengingat mayoritas warganya pemeluk Islam, pada akhirnya menerima rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan sebenarnya Bung Karno sejak semula menyetujui rumusan sesuai Piagam Jakarta, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Arsip BPUPK dan PPKI dengan demikian menjadi bukti autentik, bilamana kita hendak mempertahankan kehadiran Republik Indonesia adanya saling tenggang rasa memang diperlukan di antara kita. Tanpa tenggang rasa itu, atau populer sekarang dengan istilah “toleransi”, tak bakal ada Republik Indonesia. Secara langsung dan tak langsung arsip BPUPK dan PPKI bisa menjadi jawaban untuk mereka yang sekarang ini dengan keras atau tersirat menginginkan negara khilafah.
Yang secara tak langsung tersirat juga dari buku ini: kritik terhadap kaum cendekiawan. Para ahli arsip di ANRI tentulah paham makna sebuah arsip, dan juga mengerti bahwa salah satu tugas lembaga arsip adalah menyediakan (kalau perlu mencarikan) arsip yang diperlukan oleh siapa pun, apalagi bila kebutuhan itu untuk sebuah penelitian. Karena itu tidak ada pasal pihak ANRI menolak, menghalangi, mereka yang hendak membaca arsip yang diperlukan.
Memang, seperti dikutip di pembuka tulisan ini, sejarah ditulis oleh yang menang. Kelanjutan jargon ini, maka semua arsip yang bisa merugikan “sejarah yang menang” itu, mestilah disembunyikan, bila perlu dimusnahkan (ingat misalnya Surat Perintah 11 Maret). Kebijakan ANRI “menyembunyikan” arsip BPUPK dan PPKI (nama khas kedua arsip ini adalah Arsip A.G. Pringgodigdo dan A.K. Pringgodigdo).
Menurut Menggugat Arsip Nasional, kedua arsip Pringgodigdo tak dibuka untuk umum oleh ANRI di masa Orde Baru karena ada kebijakan desukarnoisasi. Karena itu aneh bila di masa reformasi pun ANRI tidak juga menyosialisasikan kedua arsip tersebut, padahal para ahli arsip tentulah memahami bahwa kedua arsip itu bisa menjadi acuan untuk masalah-masalah Indonesia sekarang. Semestinya, sebagai cendekiawan, para ahli arsip di ANRI kemudian mengoreksi kebijakan masa lalu, dan menyatakan bahwa kedua arsip Pringgodigdo ada dan silakan diakses.
Memang, pada peluncuran buku Menggugat Arsip Nasional yang disertai diskusi publik di Jakarta, Mei lalu, wakil dari ANRI pun hadir dan memberi penjelasan. Menurut saya, penjelasan mereka formal nadanya, yakni bahwa pimpinan ANRI sudah terbuka sudah sejak lama, dan silakan datang di ANRI untuk mencari apa saja yang ada di ANRI.
Mengapa penjelasan itu formal sifatnya? Ada beberapa hal yang tidak akurat di ANRI yang hingga kini belum dikoreksi. Buku Menggugat Arsip Nasional mencatat hal-hal yang tidak akurat pada diorama di ANRI, beberapa keterangan keliru.
Jadi, sejarah memang ditulis oleh yang menang. Namun selama data dan fakta autentik ditemukan, koreksi terhadap sejarah selalu bisa dilakukan. Taufik Abdullah, sejarawan Indonesia ternama, pernah menyatakan bahwa penulisan sejarah itu tidak tunggal, karena fakta dan data baru bisa ditemukan dan karena itu sejarah pun ditulis ulang.
Dan di antara sejumlah hal yang harus dibenahi, ANRI sesungguhnya tetap mencoba tak berpihak; lihat saja diorama tentang peristiwa 30 September 1965. Sudah jamak diketahui bahwa para jenderal yang diculik disiksa sebelum dibunuh. Di ANRI, dikemukakan hasil autopsi para jenderal tersebut: mereka meninggal karena ditembak, dan tidak ada bekas-bekas siksaan. [Bambang Bujono, 2017]
Buku: Menggugat Arsip Nasional tentang Arsip Otentik “Badan Penyelidik” dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Pengarang: R.M. A.B. Kusuma
Penerbit: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017