Arief Rachman: Pengabdian Tulus untuk Pendidikan Indonesia (Bagian 1)

Arief Rachman

Koran Sulindo – Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd. adalah seorang tokoh pendidikan Indonesia dengan pengalamannya sebagai guru, kepala sekolah, dosen, Guru Besar Univesitas Negeri Jakarta, dan pakar pendidikan selama lebih dari 55 tahun. Sosoknya sebagai guru yang benar-benar mencintai dunia pendidikan, terlihat dari banyak pemikirannya yang turut mempengaruhi perkembangan dan dinamika dunia pendidikan Indonesia.

Ukim Komarudin, penulis buku Arief Rachman: Guru, bahkan menyebut bahwa sosok Arief adalah salah satu figur yang setia pada fitrah sebagai seorang pendidik, dan merupakan karunia bagi masyarakat Indonesia.

Arief Rachman lahir di Malang, pada 19 Juni 1942 dan berasal dari keluarga berlatar belakang bidang pendidikan. Ia adalah putra seorang guru Bahasa Inggris, Jepang, dan Belanda, bernama H. R. Abdoellah Rachman. Ibunya bernama R. Siti Koersilah, seorang ibu rumah tangga yang sukses mendidik kedelapan putra-putrinya. Ia menikah dengan Haryati Suwardi dan dikarunia tiga anak yang bernama Laila Alia Arief Rachman, Rahadi Arief Rachman, dan Deva Arief Rachman.

Baca juga: CORNEL SIMANJUNTAK

Arief menempuh jenjang pendidikan sekolah dasar hingga SMA-nya di kota hujan, Bogor. Sewaktu umurnya menginjak 17 tahun, pada 1960, ia mengikuti program pertukaran pelajar Bina Antar Budaya AFS ke Highland Park High School, New Jersey, Amerika Serikat. Disanalah ketertarikannya untuk menjadi seorang guru muncul, ketika melihat kualitas pendidikan yang sangat baik dan apresiasi yang tinggi terhadap potensi setiap anak.

Ia merasakan perbedaan kualitas pendidikan disana sangat berbeda dengan di Indonesia. Kala itu dirinya berpikir, apabila anak-anak Indonesia dididik dengan pendekatan dan intervensi yang serupa dengan cara dan gaya seperti di Amerika, kemungkinan anak Indonesia pun akan memiliki kualitas yang lebih baik, seperti pengalaman yang ia rasakan.

Semua yang Arief alami di Amerika membuatnya berpikir tentang pendidikan di Indonesia, dan keinginannya pun semakin kuat untuk menjadi guru. “Untuk menumbuhkan generasi yang berprestasi, harus ada seseorang yang terpanggil jiwanya untuk menjadi seorang guru. Dia tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Dia tidak hanya berprofesi, tetapi juga berinovasi. Dia bukan sekedar mencari uang, melainkan mencari rezeki. Dia bukan sekedar mencari kedudukan, melainkan menempuh tanggung jawab. Dia bukan sekedar mencari fasilitas, melainkan mengembangkan fasilitas. Dia bukan sekedar menemukan masalah, melainkan mampu menyelesaikan masalah,” begitulah konsepnya tentang sosok seorang guru saat jiwanya merasa terpanggil untuk menjadi pendidik.

Arief_Rachman (Foto: quipperhome)

Ketika dirinya masih berstatus mahasiswa pada 1962, Arief memulai karirnya sebagai guru dengan menjadi pengajar dan tim seleksi pada pemberangkatan siswa AFS yang dulu pernah ia dapatkan. Baru pada tahun 1964 ia benar-benar menjadi “guru sekolah” di SMP dengan mengajar bahasa Inggris. Usai menyelesaikan sarjana pendidikannya di IKIP Jakarta pada 1970, ia menambah jam mengajarnya di beberapa SMA, menjadi dosen di kampus IKIP, dan menjadi pembawa acara pelajaran bahasa Inggris di TVRI.

Ia beranggapan, bahwa tidak ada satu pun anak di dunia ini yang bodoh, kecuali dia melalui proses pembodohan dari orang tua atau sekolah. “Saya mendapatkan bukti, anak tukang sampah sekalipun, jika proses pendidikannya baik, maka hasilnya akan berkualitas. Sebaliknya, saya juga pernah menemukan anak seorang pejabat tinggi, yang proses pembinaan di keluarganya tidak terlalu positif, justru berkembang tidak sesuai harapan,” ujarnya.

Pada tahun 1966 dan 1978 ia terlibat aktif memimpin gerakan mahasiswa yang membuatnya semakin dikenal memiliki pengalaman yang luas dalam program peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Ia pun banyak mengisi program-program pendidikan dan penataran guru dan siswa di berbagai instansi pemerintah maupun lembaga swasta.

Baca juga: Arief Rachman: Pengabdian Tulus untuk Pendidikan Indonesia (Bagian 2)

Dosen luar biasa Universitas Indonesia sejak 1979 ini pun mendapatkan penghargaan sebagai Dosen Teladan di tempatnya mengajar, IKIP Jakarta, pada 1982 dan menyelesaikan program masternya di kampus yang sama pada 1984. Namanya semakin harum saat ia membawakan acara Hikmah Fajar di RCTI sejak 1995-2002 dan dianugerahi penghargaan Pemandu Acara TV Swasta Berbahasa Indonesia Terbaik di tahun pertamanya.

Sebagai pakar pendidikan, Arief memang hadir dalam beragam pemikiran. Yang menarik, ia juga mampu mengajak setiap unsur yang terlibat dalam pendidikan untuk mengimplementasikan beragam ide dan pemikiran tersebut. Menurutnya, untuk memajukan kualitas pendidikan di Indonesia harus dimulai dari sisi pelajar/ siswa terlebih dahulu. Ia mengingatkan, sikap unggul keterpelajaran yang harus dimiliki setiap peserta didik di antaranya adalah setia kepada ilmu, rasa ingin tahu yang tinggi, percaya kepada nalar, mandiri, berani karena benar, tanggung jawab, rendah hati, empati, dan tahan ujian.

Sikap unggul tersebut harus diseimbangi dengan karakter yang baik. “Karakter yang baik adalah sikap atau perilaku seseorang yang konsisten di jalur yang benar dan baik, meskipun dihadapkan oleh situasi yang dilematis.” Artinya, karakter seseorang baru teruji ketika dihadapkan pada suafu permasalahan. Seseorang dapat dikatakan berkarakter baik apabila saat dihadapkan pada permasalahan, dirinya tetap menempuh jalan yang baik dan benar. Nilai-nilai itulah yang Arief harapkan dapat dididik kepada setiap siswa Indonesia. [GAB]