Koran Sulindo – Jumlah dokter gigi di Indonesia jauh dari ideal. Bahkan diperparah persebarannya belum merata, yakni 70 persen masih terpusat di Pulau Jawa. Menurut WHO rasio ideal jumlah dokter gigi dengan penduduk yaitu 1:2.000. Sementara keberadaan dokter gigi dibandingkan dengan jumlah penduduk masih di bawah rasio ideal yakni 1:22.000.
Sementara itu, setiap tahunnya hanya ada tambahan sekitar 600 dokter gigi yang berhasil diluluskan oleh berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Dengan kondisi ini diproyeksikan rasio ideal baru akan tercapai pada 2030 mendatang. Salah satu faktor yang mempengaruhi lambatnya menghasilkan lulusan dokter gigi adalah adanya keterlambatan dalam pendidikan profesi.
Normalnya pendidikan profesi ditempuh dalam waktu 1,5-2 tahun. Namun kenyataannya hampir 50 persen mahasiswa menempuh pendidikan profesi lebih karena berbagai faktor, di antaranya mahasiswa ko-ass kesulitan mendapatkan profil pasien yang tepat sesuai kebutuhan atau persyaratan. Pun juga persoalan jadwal turut berkontribusi dalam memperlambat pendidikan profesi ini. Kesulitan yang umum dialami adalah jadwal ko-ass yang tidak tepat dengan pemeriksaan pasien karena kegiatan pasien, sementara ko-ass dibatasi waktu.
“Masalah lain adalah pasien tidak memiliki cukup uang sehingga ko-ass harus membayar untuk menampung pengobatan,” ungkap Silva Eliana, mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UGM saat berbincang-bincang dengan wartawan di kampus UGM, Senin (9/1).
Melihat kenyataan ini Silva Eliana FKG dan Arief Faqihudin dari Fakultas Teknik UGM mengembangkan ide bisnis sosial berupa pengembangan aplikasi bernama COASS. Aplikasi ini menghubungkan mahasiswa profesi dokter gigi atau ko-asistensi (ko-ass) dengan pasien sesuai dengan kebutuhan dan jadwal perawatan keduanya.
“COASS merupakan platform yang mempertemukan kebutuhan perawatan dan jadwal yang sesuai antara pasien dan mahasiswa ko-ass,” jelas Silva.
Harapannya dengan aplikasi COASS ini, lanjut Silva, memberikan kemudahan bagi pasien dan mahasiswa ko-ass untuk bertemu bersama-sama. Dengan begitu mahasiswa ko-ass dapat menyelesaikan pendidikan tepat waktu sehingga mendukung terwujudnya rasio ideal antara dokter gigi dan penduduk di Indonesia.
Aplikasi COASS ini membawa dua màhasiswa UGM ini menjadi pemenang dalam kompetisi Asia Social Innovation Award 2016 di tingkat nasional. Dengan keberhasilan tersebut keduanya berhak mewakili Indonesia dalam final kompetisi yang sama di tingkat Asia pada 16-19 Februari 2017 mendatang di West Kowloon, Hongkong.
“Kami merasa bangga terpilih menerima penghargaan “Best Social Start-up Ide” di regional Indonesia dan mewakili ke tingkat internasional nantinya,” tutur Silva lagi.
Dijelaskan Arief, Asia Social Innovation Award merupakan sebuah kompetisi ide bisnis start up sosial yang diselenggarakan oleh Social Ventures Hongkong yang ditujukan untuk memberikan solusi atas berbagai persoalan yang terjadi di Asia. Kompetisi ini diikuti ratusan peserta dari berbagai negara di kawasan Asia seperti Indoensia, Hongkong, Korea Selatan, Singapura, Taiwan, Thailand, Vietnam dan Asia lainnya.
“Nantinya kami akan berkompetisi dengan 10 pemenang lainnya perwakilan masing-masing regional,” kata Arief.
Menurut Arief para pemenang regional diberikan kesempatan untuk mengasah ide dan pengembangan model bisnis melalui pembinaan dalam lokakarya start up sosial serta pitching ide di Hongkong. Selanjutnya satu ide terbaik dari hasil pitching dipilih menjadi pemenang mendapatkan Grand Award Sosial Innovator 2017. Pemenang berhak memperoleh coaching dan masuk dalam keanggotaan di “House of Social Innovators” selama 1 tahun. Selain itu juga memperoleh uang pembinaan sebesar 9.020 USD. [YUK]