APBN Masih ‘Gali Lubang Tutup Lubang’

Utang dan dunia di ambang Depresi Besar II [Foto: Istimewa]

DEFISIT Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin mengkhawatirkan, diprediksi pada tahun 2022 ini akan terjadi defisit sekitar 30 persen dari pendapatan negara. Dalam APBN Outlook 2022 yang diterbitkan Kementerian Keuangan defisit anggaran di perkirakan mencapai Rp.732,2 triliun sedangkan pendapatan negara sebesar Rp.2.436,9 triliun.

Salah satu beban terbesar dalam APBN 2022 adalah pembayaran utang pemerintah pusat beserta bunga. Pembayaran bunga utang pada tahun 2022 akan mencapai 403 triliun rupiah dan akan meningkat menjadi Rp.441 triliun pada tahun 2023.

Pembayaran cicilan utang yang mendekati 20 persen dari APBN dinilai sebagai gambaran tidak seimbangnya APBN. Apalagi jika pemerintah menambah utang baru untuk menutup defisit anggaran dengan jumlah lebih besar. Skema ‘gali lubang tutup lubang’ ini tentu menempatkan keuangan negara dalam situasi tidak aman apalagi ancaman resesi global menyebabkan pengetatan dimana-mana.

Untuk diketahui pembayaran bunga utang terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2018, pembayaran bunga utang sebesar Rp 258 triliun, kemudian naik Rp 275,5 triliun di tahun 2019. Sementara pada tahun 2019 dan 2020 masing-masing sebesar Rp 314,1 triliun dan 343,5 triliun, serta outlook tahun ini sebesar Rp 403,9 triliun.

Ekonom Bhima Yudhistira menyebut situasi ini tidak sehat karena ada tren kenaikan suku bunga dan inflasi yang akan meningkatkan pula bunga utang.

“Kalau 20 persennya dihabiskan untuk cuma bayar bunga utang, nah ini tentu semakin tidak sehat,” katanya.

Di sisi lain, Bhima menyampaikan dengan tren kenaikan suku bunga dan inflasi yang semakin naik, maka dirinya memperkirakan bunga akan semakin mahal sehingga berdampak kepada baban bunga yang harus dibayar oleh pemerintah.

“Kalau dibandingkan dengan pendapatan negara, kan bayarnya bunga utang itu dari pendapatan pajak dan non pajak. Jadi memang rasio pajaknya itu sudah dibantu dengan tax amnesty, dan sekarang ini dibantu lebih banyak karena komoditas yang sifatnya temporer,” katanya.

Menurutnya, ada permasalahan serius yang menyangkut soal rasio pajak Indonesia. Untuk itu, dirinya meminta pemerintah untuk mendorong basis perpajakan yang lebih bagus dan sistem perpajakan yang lebih transparan.

Selain itu, untuk mengurangi ketimpangan kekayaan, menurutnya salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan mengenakan pajak atas kekayaan (wealth tax) apabila ingin meningkatkan rasio pajak.

Kemudian, bisa juga mendorong adanya windfall tax atau pajak yang dibebankan kepada sektor komoditas yang harganya sedang meroket.

“Nah itu salah satu cara bagaimana kita bisa mendorong dari sisi rasio pajak dan di sisi yang paralel belanja pemerintah harus diarahkan untuk sektor yang produktif,” ungkap Bhima.

Tax ratio

Dari sisi pendapatan negara penerimaan dinilai belum maksimal terutama dari sisi penerimaan pajak. Hal ini tercermin dari angka rasio pajak (Tax Ratio) terhadap PDB yang dinilai masih rendah.

Adapun rasio pajak pada tahun 2019 mencapai 8,42% terhadap PDB. Kemudian pada tahun 2020 menurun menjadi 6,95% terhadap PDB. Meskipun pada tahun 2021 kembali naik menjadi 7,53% namun angka tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan rasio pajak 2019.

Begitu juga dengan rasio pajak yang hanya ditargetkan sebesar 8,17% pada tahun 2023, atau lebih rendah dibandingkan dengan outlook tahun ini yang sebesar 8,35%.

Ketidakseimbangan antara pergerakan rasio utang dengan rasio pajak diperkirakan akan berdampak kepada beban utang yang harus dibayar oleh pemerintah.

Rasio pajak yang ideal untuk negara berkembang seperti Indonesia setidaknya berkisar 15% terhadap PDB. Oleh karena itu, apabila Indonesia tidak bisa mencapai rasio ideal tersebut, maka dalam jangka menengah panjang utang bisa menjadi beban.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebut perlu ada upaya pemerintah menaikkan tax ratio demi menyeimbangkan anggaran negara.

“Pemerintah perlu punya strategi menaikkan tax ratio. Kalau menurut saya, jika komitmen ke sustainability ke depan kuat maka pajak untuk kegiatan ekstraktif sumber daya alam (SDA) harus dinaikkan,” ujar Eko Minggu (20/11).