Ilustrasi/Zadovoljna.hr

Koran Sulindo – Jangan sembarangan minum obat antibiotik ketika sakit. Kalaupun harus memakai obat antibiotik, harus sesuai dengan aturan. Pemakaian antibiotik yang berlebihan akan membuat bakteri yang ada di tubuh resisten. Kalau sudah begitu, penyakit infeksi susah disembuhkan yang pada akhirnya bisa menyebabkan kematian.

Yang perlu ditekankan,  tidak semua penyakit infeksi harus ditangani dengan memberi antibiotik. Penggunaan antibiotik semata hanya untuk mengobati penyakit yang disebabkan infeksi bakteri, bukan mencegah atau mengatasi penyakit akibat virus.

Peringatan ini dilontarkan oleh Ketua Komite Pengendalian Resistensi  Antimikroba  (KPRA), Kementerian Kesehatan RI, dr. Hari Paraton Sp.OG(K) saat Pfizer Press Circle (PPC) yang berlangsung di Hotel Santika, Yogya, Minggu (9/4).

Menurut Hari, dampak akibat pemakaian antibiotik yang berlebihan tak langsung bisa dirasakan. Namun, ketika saat sakit jantung dan perlu dioperasi, misalnya, maka luka yang terjadi saat operasi susah disembuhkan, karena bakteri yang ada di tubuh sudah resisten kala diberi antibiotik untuk mempercepat proses penyembuhan luka operasi. Akibat yang timbul, pasien bisa meninggal. Di sini bisa dikatakan pemakaian antibiotik yang tak terkontrol juga menjadi pemicu kematian, meski si pasien dinyatakan meninggal akibat penyakit jantung.

“Antibiotik bisa menjadi pembunuh terselubung,” tegasnya.

Memang tak bisa dipungkiri, kata Hari, Antibiotik telah memiliki peran penting pada dunia kedokteran, karena telah menyembuhkan banyak kasus infeksi. Namun intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Hari mengungkapkan, berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. “Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik diberbagai rumah sakit di Indonesia ditemukan 30% – 80% tidak didasarkan pada indikasi. Berdasarkan data penelitian WHO dan KPRA/PPRA tahun 2013 di 6 Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia diidentifikasi bakteri penghasil ESBL (Extended-Spectrum Beta-Lactamase) 40-50% resisten terhadap golongan  Cephalosporingenerasi 3 dan 4,” tambah Hari.

Hari juga menyodorkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pada tahun 2014 terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistent tuberculosis (MDR-TB) di dunia. 700.000 kematian pertahun akibat bakteri resisten. Selain itu, berdasarkan laporan the Review on Antimicrobial Resistance (AMR) memperkirakan bahwa jika tidak ada tindakan global yang efektif, AMR akan membunuh 10 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahunnya pada tahun 2050. Angka tersebut melebihi kematian akibat kanker, yakni 8,2 juta jiwa per tahun dan bisa mengakibatkan total kerugian global mencapai US$ 100 triliun.

“Data ini menunjukkan bahwa resistensi antimikroba memang telah menjadi masalah yang harus segera diselesaikan dan perlu adanya peningkatan kesadaran di masyarakat mengenai resistensi antibiotik,” katanya.

Di Indonesia, menurut Hari, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah ikut berkomitmen dalam pengendalian AMR. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah antara lain telah berfungsinya Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang dibentuk 2014 dan pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba di awali pada 144 rumah sakit rujukan nasional dan regional serta Puskesmas di 5 provinsi pilot project.

Namun, lanjut Hari, tantangan yang harus dihadapi dalam penanggulangan resistensi antimikroba menjadi tidak mudah karena persoalan ini bukan saja melibatkan pasien atau dokter, tetapi juga melibatkan industri farmasi, industri rumah sakit, kepentingan bisnis dan kesadaran masyarakat. Ditambahkan Hari, penyebab banyaknya kasus resistensi antibiotik dipicu pula mudahnya masyarakat membeli antibiotik tanpa resep dokter di apotek, kios atau warung. Seharusnya, antibiotik tidak dijual bebas dan harus berdasarkan resep dokter.

Pada kesempatan itu Hari juga menghimbau pada masyarakat (pasien) untuk berani menolak pemberian resep obat yang memakai antibiotik jika memang penyakit yang diderita bisa diatasi tanpa antibiotik. “Itu hak pasien, dokter di sini hanya edukasi,” tuturnya.

Jadi, menurut Hari, Untuk mengatasi masalah resistensi antibiotik ini diperlukan kerjasama semua pihak.

Sementara itu Widyaretna Buenastuti, Public Affairs and Communication Director PT Pfizer Indonesia, mendukung kampanye pengendalian penggunaan antibiotik untuk mencegah munculnya resistensi antimikroba.

“Karena itu kami mengajak jurnalis untuk berdiskusi terkait pentingnya kesadaran mengenai resistensi dan kepatuhan penggunaan antibiotik yang tepat,” ujarnya.

Dengan begitu, tutur  Widyaretna, lewat pemberitaan itu masyarakat menjadi lebih teredukasi tentang penggunaan antibiotik yang terkendali dengan dosis yang tepat untuk mencegah munculnya resistensi antimikroba, serta tidak membeli atau mengonsumsi obat antibiotik tanpa resep dan anjuran dokter. [YUK]