Anomali Iklim La Nina Ancam Kelestarian Biodiversitas

Ilustrasi/isty

Koran Sulindo – Fenomena anomali iklim La Nina yang merupakan rangkaian El-Nino Southern Oscilation (ENSO) tidak hanya menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan nasional, tetapi juga kelestarian biodiversitas Indonesia. La Nina yang membawa curah hujan lebih tinggi disertai kenaikan suhu dan kelembaban relatif rerata akan memberikan ancaman terhadap eksosistem dan dapat menimbulkan seleksi alam.

Demikian diutarakan Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr Sc., saat berbincang-bincang dengan wartawan kampus UGM, Kamis (16/3). “Keberadaan La Nina akan menciptakan bottleneck terhadap spesies yang memiliki toleransi rendah akan kenaikan suhu serta cekaman perendaman akibat tingginya curah hujan dan kelembaban,,” ujarnya.

Budi mencontohkan pada penentuan jenis kelamin penyu hijau (Chelonia mydas L.).  Penentuan kelamin pada spesies ini, menurut sangat dipengaruhi kondisi suhu pada saat pengeramannya. Misalnya, pada suhu lebih dari 29°C maka anakan penyu umumnya berkelamin betina. Sebaliknya, pada suhu kurang dari 29°C maka umumnya anakan penyu berkelamin jantan. Sedangkan pada saat pengeraman suhu lingkunganya lebih dari 33°C maka akan menimbulkan kematian bagi embrio penyu.

“Flora dan fauna indigenous asli Indonesia bisa jadi terancam punah atau setidaknya, mengalami tekanan seleksi yang kurang menguntungkan,” tuturnya.

Dikatakan Budi, memang dampak ENSO bagi kehilangan dan kepunahan biodiversitas tidak dapat dirasakan langsung seperti halnya pada ancaman ketahanan pangan.

Melihat adanya ancaman ini Budi menekankan pentingnya menjaga kelestarian sumber daya hayati dan lingkungan. Apabila kelestarian sumber daya hayati dan lingkungan terus terjaga akan mendukung ketahanan pangan nasional.

“Mari bersama menjaga kelestarian alam. Jika kita dapat melestarikan sumber daya hayati dan lingkungan maka ketahanan pangan akan terjamin,” kata Budi yang kini menjadi Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI).

Untuk mengatasi anomali iklim ini Budi meminta pemerintah hendaknya melakukan penanganansecara serius. Pemerintah bersama Kementrian Pertanian, Kementrian Perdagangan, dan Badan Usaha Logistik (Bulog) diharapkan dapat berperan aktif memprediksi, menyusun, dan mengeksekusi langkah-langkah mitigasi yang strategis dan tepat meliputi proses penyediaan pangan dari hulu hingga hilir.

“Kehilangan biodiversitas dalam jangka panjang justru akan menimbulkan kerusakan tatanan ekosistem yang lebih berat dan menimbulkan kerugian sistemik yang  tidak dapat diukur dengan materi karena berlangsungnya kepunahan,” katanya lagi. [YUK]

(Tulisan ini pernah dimuat pada 17 Maret 2017)

Baca juga: