Amir Sutaarga, Sosok Besar Permuseuman Indonesia – Bagian 2

Moh. Amir Sutaarga/kanan dalam ajang Museum Award 2012 (Sumber: Detik Travel)

koransulindo.com – MAS dikenal cerdas. Ia menguasai beberapa bahasa asing, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, dan Jepang. Belum lagi Bahasa Jawa kuno. Minatnya membaca turun dari pamannya, Sjafruddin Prawiranegara, seorang tokoh kemerdekaan Indonesia. Kecerdasan MAS diakui koleganya dari Belanda, Herman Burgers, yang pertama kali bertemu MAS pada 1948.

Karena menguasai bahasa asing, MAS sempat menerjemahkan beberapa buku. Salah satu bukunya yang paling laris karena telah berkali-kali cetak ulang adalah Perempuan di Titik Nol terbitan Yayasan Obor.

Di luar buku-buku permuseuman, bukunya yang fenomenal adalah Prabu Siliwangi. MAS juga senang menulis humor. Meskipun diketik manual dan distensil, hasil karyanya pernah diedarkan ke sejumlah teman dan anak buahnya. Karya stensilannya yang ’kontroversial’ itu berjudul “Perang Kentut”. Isinya penuh humor. Selepas Kepala Museum Pusat yang kemudian berganti nama menjadi Museum Nasional (1979), MAS menjadi Direktur Museum.

Pada 1984 keluar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang isinya tentang pemindahan jabatan dari Direktur Museum menjadi tenaga pengajar UI, dengan tugas menyusun program Museologi. Sebenarnya, mata kuliah baru tersebut ditangani Jurusan Antropologi FISIP-UI. Namun, karena waktu itu ada clash dengan Dekan FISIP, maka Guru Besar Antropologi Prof. Koentjaraningrat dan Guru Besar Arkeologi Prof. R. Soekmono mengalihkannya ke Jurusan Arkeologi FS-UI.

Pada 1993 MAS resmi pensiun dari UI. Pangkat terakhirnya adalah IV/E setara dengan guru besar. ”Saya adalah direktur yang tidak punya apa-apa sekembalinya ke UI,” katanya dengan guyon. Direktur dengan kantong petruk, begitu istilah MAS.

Prinsip MAS dalam memimpin adalah memperhatikan bawahan dan jujur. Selama kepemimpinannya, sejumlah anak buahnya berhasil dikuliahkan di dalam negeri dan di luar negeri. ”Saya harus membagi ilmu secara informal, kan gak terasa,” kata ayah dari enam putra/putri dan kakek dari 13 cucu ini beralasan kepada penulis 2012 lalu.

Godaan sebagai pimpinan museum, terutama dalam tender, sering dijumpai MAS. Sejumlah amplop pernah disodorkan kepadanya, tapi segera dikembalikan. Banyak keluarganya yang ikut tender, namanya segera dicoret. MAS benar-benar anti KKN.

Sebenarnya setelah itu, MAS dicalonkan oleh Angkatan Darat menjadi Direktur Jendral Kebudayaan, namun MAS menolak secara halus. “Berikan saja jabatan itu kepada orang-orang pintar,” katanya.

Untuk memajukan museum, kata MAS, masyarakat dan komunitas harus mengambil bagian. Di berbagai negara ada Friends of Museum, dengan aktivitas antara lain menerbitkan buletin, menerbitkan buku, dan membuat cenderamata.

MAS lahir di Rangkasbitung pada 5 Maret 1928. Beliau meninggal pada 1 Juni 2013 di rumahnya di Ciputat. Ia dimakamkan di Menes, Pandeglang, Jawa Barat. Banyak warisan berharga kita peroleh darinya, terutama pengetahuan tentang permuseuman. Semoga upaya untuk menjadikan MAS sebagai Bapak Permuseuman Indonesia dengan Surat Keputusan dari pemerintah segera terwujud. [DS]

(Selesai. Bagian pertama dapat dilihat di sini)

Baca juga: