Koran Sulindo – Presiden Amerika Serikat Donald Trump, sebagai representasi paling otoritatif atas negaranya, kembali memancing kemarahan negara-negara lain. Dalam pidato kenegaraannya pada 30 Januari 2018 lalu, ia menyatakan negara-negara yang tidak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel menjadi musuh Amerika Serikat.
Dikatakan Trump, miliaran dolar dana bantuan telah diberikan negaranya untuk sebagian dari 128 negara yang mendukung resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menolak keputusan Amerika Serikat mengenai status Yerusalem. “Pembayar pajak Amerika dengan murah hati mengirim uang bantuan miliaran dolar kepada negara-negara ini setiap tahunnya. Karena itulah, malam ini, saya meminta Kongres untuk mengeluarkan undang-undang untuk membantu memastikan dolar bantuan luar negeri Amerika selalu melayani kepentingan Amerika dan hanya diberikan kepada sahabat Amerika,” katanya.
Meski tidak mengucapkan kata “musuh”, yang apa dia katakan tersebut pada dasarnya adalah pemberian label “musuh” kepada 128 negara itu. Seperti diketahui, pada 6 Desember 2017 lalu, Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan segera memindahkan kantor kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Keputusan Trump ini mendapatkan kecaman internasional. Dan, Indonesia adalah salah satu dari 128 negara yang menentang keputusan tersebut.
Sebelumnya, pada Desember 2017 itu, Trump memang telah mengancam akan memutuskan bantuan keuangan kepada negara-negara penentang. “Mereka mengambil jutaan dolar dan bahkan miliaran dolar dan mereka memberi suara yang menentang kita,” tutur Trump.
Bukan hanya Trump. Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Nikki Haley juga membuat pernyataan intimidatif. Ia mengatakan, dirinya telah diminta Trump untuk melaporkan “siapa saja yang menentang melawan kita”. Haley juga memperingatkan dalam sebuah surat ke belasan anggota PBB agar mereka mengetahui “Presiden dan Amerika Serikat melihat pemungutan suara sebagai hal personal.”
Betapa jemawanya! Kita pun menjadi teringat kepada Bung Karno, yang pernah dengan lantang meneriakkan, “Amerika…, go to hell with your aid! Persetan dengan bantuanmu! Lautan dolar tak akan dapat merebut hati kami.” Bahkan, Bung Karno kemudian menyelenggarakan Konferensi Internasional Anti-Pangkalan Militer Asing (KIAPMA), yang resmi dibuka pada 17 pada Oktober 1965, untuk menentang aksi Amerika Serikat mendirikan pangkalan militernya di berbagai negara, seperti di Jepang dan Filipina.
Dalam otobiografinya yang dituturkan kepada Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno antara lain menjelaskan bahwa yang dikatakan Amerika Serikat tentang “bantuan” bukanlah dalam pengertian hadiah alias gratis, tapi suatu utang dan harus dibayar kembali. Sementara itu, kata Bung Karno lagi, pihak Amerika Serikat mengggap seolah Indonesia seperti orang melarat, kemudian Amerika Serikat berkata, “Ambillah…, ambillah saudara kami yang malang dan melarat…, ambillah uang ini.” Dan, anggapan tersebut, ungkap Bung Karno, tidaklah betul. “Anggapan yang munafik!” ujar Bung Karno. Indonesia, tambahnya, juga tidak menginginkan bantuan cuma-cuma.
“Kami sama sekali tidak meminta Amerika supaya memberi uang secara cuma-cuma. Kami sudah mengemis-ngemis selama hidup dan kami takkan melakukannya lagi. Ada pertolongan lain yang dapat mereka berikan, yakni persahabatan,” tutur Bung Karno.
Dari pernyataan itu saja bisa dilihat, Bung Karno bukanlah tokoh nasionalis dan presiden yang anti-bantuan dan modal asing. Sejarah juga membuktikan, pada masa Presiden Soekarno, Indonesia membuka diri terhadap bantuan Amerika Serikat dan juga Uni Soviet. Kendati begitu, sikapnya jelas: Bung Karno menolak jika bantuan itu dijadikan alat untuk membuat Indonesia mengikuti kemauan politik si pemberi utang atau kemauan yang merugikan bangsa dan negara Indonesia.
Kini, Presiden Amerika Serikat telah menyatakan sikap permusuhan terhadap 128 negara, yang di dalamnya ada Indonesia, sambil mengancam-ancam pula. Tapi, sejauh ini belum ada yang berteriak lantang seperti Bung Karno, termasuk dari Indonesia.
Mungkin benar apa yang dikatakan penyair besar Rendra dalam sajaknya: “Bangsa kita kini seperti dadu terperangkap dalam kaleng utang, yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa, tanpa kita bisa melawannya. Semuanya terjadi atas nama pembangunan, yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan. Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum juga mencontoh tatatan penjajahan, menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan….” [PUR]