Amat Disayangkan Bila Sejarah Jalur Rempah Dilupakan Zaman

Gunung Gamalama Ternate. Tertanggal 1614 karya pengukir asal Inggris Benjamin Wright (Imaji berasal dari the Atlas of Mutual Heritage dan Perpustakaan Nasional Belanda/de Koninklijke Bibliotheek,)

“Jejak sejarah Jalur Rempah amat disayangkan jika harus tenggelam zaman. Karena khesadaran akan masa lalu kita sangat penting.”

Pasalnya, Indonesia merupakan pusat penghasil rempah yang telah diakui dunia. Perdagangan rempah kemudian turut mempengaruhi pertukaran budaya, filsafat, dan teknologi, dari berbagai bangsa.

Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan akivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara menjadi pemain penting di dunia lewat rempah-rempahnya. Rempah Indonesia di Ternate dan Tidore, dua pulau kecil yang berdampingan di Laut Maluku, menjadi salah dua penghasil rempah di Nusantara.

Pada abad ke-15 misalnya, bangsa Portugis menemukan rute ke Maluku. Ternate dan Tidore menarik perhatian mereka karena keberadaan cengkeh. Cengkeh juga yang kemudian mengundang minat bangsa Eropa lainnya, seperti Spanyol dan Belanda, untuk datang dan saling bersaing untuk menguasai wilayah di jalur rempah.

Berangkat dari dua pulau kecil di Maluku itu juga, benteng-benteng itu dibangun Spanyol dan Portugis tidak lain untuk melindugi cengkeh, yang kala itu dianggap sebagai harta karun.

Nilai historis jalur rempah bisa memperkuat visi kemaritiman Indonesia. Karena secara strategis, pengetahuan sejarah jalur rempah juga bisa dimanfatakan untuk mengembangkan strategi nasional. Hal itu juga untuk mengantisipasi Tiongkok yang kini membangun Jalur Sutra Maritim.

Terlebih, Indonesia dulu makmur karena rempah hingga bangsa lain berdatangan. Karena, jalur rempah merupakan suatu peradaban yang sangat tua, kompleks, luas, dan memengaruhi peradaban global. Jejaknya memperlihatkan interaksi budaya pada masa lampau.

Dari keterbukaan masyarakat Nusantara dan hubungan budaya yang terjalin, lahir beragam warisan budaya multikultural dan multietnis ke berbagai medium. Karena, budaya ramah tamah atau hospitality bisa dibilang punya peran penting dalam perkembangan jalur perdagangan rempah.

Tetapi demikian, masyarakat dunia lebih mengenal rute perdagangan Jalur Sutra dibanding jalur rempah. Padahal, jalur rempah memberi pengaruh pada kehidupan Indonesia dan dunia di masa kini.

Berkat perdagangan rempah berabad lamanya sebelum masehi, Indonesia mungkin tidak diperhitungkan saat ini. Betapa tidak, perdagangan rempah ketika itu sudah bisa menempuh Asia Selatan hingga Timur tengah dan Eropa. Ini dilakukan oleh pedagang Arab dan Cina.

Di masa itu rempah-rempah miliki peranan penting bagi kehidupan, mulai dari urusan citarasa masakan, hingga mengawetkan mayat. Dengan kemajuan teknologi, khususnya di bidang kartografi dan astronomi, pada abad ke 15 dan 16, penjelajah Eropa seperti Christopher Columbus dari Italia dan Portugis Vasco da Gama mencari jalan ke daerah asal rempah-rempah.

Para pedagang Asia Selatan menyembunyikan peta ke daerah tersebut, hingga orang Eropa tak dapat menemukannya. Hal itu tak lain agar dapat menguasai komoditas rempah, sehingga ekspedisi penjelajah Eropa sangat agresif.

Di tengah kehidupan feodal masyarakat Eropa, penguasaan atas rempah dianggap penting agar pemiliknya dapat disejajarkan dengan golongan elit. Para penjelajah mengorbankan hidup mereka untuk menguasai rempah-rempah di Asia Tenggara. Ratusan awak da Gama, salah satu penjelajah paling obsesif, tewas dalam ekspedisi 1498.

Pedagang Eropa tiba di nusantara pada akhir abad 16. Trinitas rempah termahal di Eropa, yaitu pala, cengkeh, dan lada menjadi komoditas dagang utama mereka. Rempah-rempah tersebut ditemukan di Kepulauan Banda Maluku.

Sayangnya, 50 tahun setelah ditemukan dan dibudidayakan di Eropa, nilai jualnya menurun. Hal ini memaksa Belanda untuk memanfaatkan komoditas lain di nusantara, seperti gula dan teh. Di sisi lain, selama berabad-abad kerajaan dan kesultanan nusantara mendidik orang-orangnya menjadi intelektual, untuk mencapai kejayaan.

Kerajaan Sriwijaya, Banten, dan Gowa termasuk diantaranya. Politik pecah belah pun dijalankan Belanda untuk mengacaukan kekuatan kerajaan nusantara demi mendapatkan rempah. Itu sebabnya, sejarah rempah, sedikit atau banyak, telah memberi kontribusi pada sejarah panjang pembentukan nasionalisme Indonesia. [WIS]

Baca juga: