Sejarah tidak hanya mencatat kejayaan dan kepahlawanan, tetapi juga menyimpan kisah-kisah kelam yang menggambarkan sisi lain dari para pemimpin masa lalu. Dalam perjalanan panjang Kesultanan Mataram Islam, ada satu sosok yang kerap menjadi perdebatan, baik karena kebijakan maupun tindakan-tindakannya yang kontroversial.
Ia adalah Amangkurat I, raja yang memimpin dengan tangan besi, namun justru membawa kerajaannya ke ambang kehancuran. Meskipun merupakan putra dari Sultan Agung, ia justru dikenal sebagai raja yang zalim dan otoriter. Pemerintahannya bahkan dianggap sebagai masa terburuk dalam sejarah Mataram Islam. Bagaimana perjalanan hidupnya? Dan mengapa namanya begitu lekat dengan citra kezaliman dalam sejarah Mataram? Mari kita telusuri lebih dalam kisahnya.
Biografi Amangkurat I
Amangkurat I lahir pada tahun 1619 dengan nama Raden Mas Sayidin. Ia merupakan anak Sultan Agung dari Permaisuri kedua, Raden Ayu Wetan. Pada tahun 1646, ia naik takhta dengan gelar Susuhunan Amangkurat Senopati ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama, atau yang lebih dikenal sebagai Amangkurat I. Ia memimpin Kesultanan Mataram hingga tahun 1677.
Dalam kehidupan keluarga, Amangkurat I memiliki dua istri, yakni Ratu Wetan dan Ratu Kulon. Dari pernikahannya dengan Ratu Wetan, ia memiliki seorang putra bernama Raden Mas Drajat, sedangkan dari Ratu Kulon lahir Raden Mas Rahmat.
Sejak muda, Amangkurat I sudah memiliki kedekatan dengan Belanda karena kebijakan perdagangan dan diplomasi yang diterapkan oleh ayahnya. Ia bahkan terbiasa dengan kebiasaan Belanda, termasuk dalam hal olahraga seperti gulat.
Namun, di masa mudanya, Amangkurat I juga terlibat skandal besar. Ia jatuh cinta pada istri Tumenggung Wiraguna dan nekat membawa lari perempuan tersebut. Perbuatannya ini membuat Sultan Agung murka dan menghukumnya selama tiga tahun. Setelah masa hukuman berakhir, ia dinikahkan dengan anak Pangeran Pekik dan diberi gelar Ratu Kulon.
Perseteruan dengan Putranya, Raden Mas Rahmat
Setelah naik takhta menggantikan Sultan Agung, Amangkurat I menunjuk Raden Mas Rahmat sebagai Adipati Anom. Namun, ia kemudian mencabut jabatan tersebut dan menyerahkannya kepada Pangeran Singasari. Keputusan ini membuat Raden Mas Rahmat marah dan melakukan kudeta pada tahun 1661. Meskipun Amangkurat I tidak menghukum langsung putranya, ia menumpas habis pengikut Raden Mas Rahmat.
Konflik antara ayah dan anak ini semakin meruncing ketika Amangkurat I hendak memiliki selir baru, Rara Oyi. Raden Mas Rahmat tidak setuju dan akhirnya membawa lari perempuan tersebut, memperkeruh hubungan antara keduanya.
Berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung, yang dikenal sebagai pemimpin bijaksana, Amangkurat I justru terkenal kejam. Kebijakannya yang sewenang-wenang membuat rakyat membencinya. Salah satu kebijakan paling brutalnya adalah pembantaian besar-besaran terhadap ulama yang ia curigai memberontak. Sekitar 6.000 ulama beserta keluarga mereka dieksekusi di alun-alun Pleret dalam waktu setengah jam.
Selain itu, ia juga bertanggung jawab atas pembunuhan beberapa tokoh penting, antara lain:
1. Tumenggung Wiraguna, sebagai bentuk balas dendam pribadi.
2. Pangeran Alit, adiknya sendiri, yang melakukan pemberontakan.
3. Pangeran Pekik, mertuanya.
4. Keluarga Trunojoyo, musuh politiknya.
Runtuhnya Mataram Islam dan Kematian Amangkurat I
Akibat kebijakan-kebijakan yang represif, satu per satu wilayah di pesisir mulai memberontak. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Amangkurat I pun bersekutu dengan VOC. Keputusan ini terbukti keliru karena VOC memanfaatkan situasi untuk memperlemah Mataram. Wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Mataram akhirnya memisahkan diri dan memberontak.
Pemberontakan terbesar datang dari Trunojoyo di Madura, yang mendapat dukungan dari orang-orang Bugis dan Makassar. Trunojoyo berhasil merebut keraton Mataram, memaksa Amangkurat I melarikan diri dan meminta bantuan VOC.
Dalam pelariannya, Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal dunia pada 13 Juli 1677 di Wanayasa, Banyumas. Sebelum wafat, ia menunjuk Raden Mas Rahmat (Amangkurat II) sebagai penggantinya, meskipun hubungan mereka penuh konflik. Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Amangkurat I tewas setelah meminum air kelapa beracun yang dikirim oleh putranya sendiri.
Amangkurat I kemudian dimakamkan di Tegal, di tanah yang mengeluarkan bau harum, sehingga daerah tersebut dinamakan Tegalwangi atau Tegalarum.
Amangkurat I adalah salah satu tokoh kontroversial dalam sejarah Indonesia. Kepemimpinannya yang otoriter dan kejam membuatnya dikenang sebagai sosok yang bertolak belakang dengan ayahnya, Sultan Agung. Meskipun ia berusaha mempertahankan kekuasaan Mataram, kebijakannya justru mempercepat kehancuran kerajaan tersebut. Kisahnya menjadi pelajaran penting tentang bagaimana kepemimpinan yang otoriter dan mengabaikan rakyat dapat membawa kehancuran bagi sebuah negara atau kerajaan. [UN]