Sikap seorang gentleman dalam menghadapi hukum bukanlah perkara sekadar berani atau pasrah, melainkan soal memelihara martabat. Ia tahu, hukum tidak selalu hadir dalam wajah ideal yang menjunjung keadilan murni. Kadang ia lahir dari kompromi, bahkan dari keberpihakan.

Namun, seorang gentleman memilih untuk tidak merendahkan dirinya dengan tipu-daya, pelarian, atau sekadar mencari celah untuk lolos. Ia menghadapi proses hukum sebagaimana seorang kesatria menatap lawan di medan laga: dengan kepala tegak, tanpa kehilangan adab.

Baginya, hukum adalah arena untuk menguji integritas, bukan sekadar ajang menang-kalah. Ketika ia benar, ia bersuara lantang dengan bukti dan argumentasi, tanpa harus menindas atau menghardik.

Dan ketika ternyata salah, ia tidak lantas jatuh hina dengan pembelaan yang mengada-ada, melainkan mengakui dan menanggung akibatnya. Di situlah kemuliaannya: kesanggupan menerima konsekuensi tanpa kehilangan harga diri.

Gentleman bukan berarti tunduk buta pada aturan, melainkan tegak menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kritik dan kepatuhan.

Ia bisa menantang hukum yang bengkok, namun tetap menggunakan jalan hukum itu sendiri, bukan dengan cara yang licik. Ia bisa menggugat, membela, bahkan melawan, tapi tanpa menjatuhkan derajatnya sendiri ke dalam lumpur kebencian atau dendam.

Maka, dalam wajah hukum yang kerap abu-abu ini, seorang gentleman justru hadir sebagai cahaya. Ia memberi teladan bahwa menghadapi hukum bukan soal lari atau menyerang, melainkan soal berdiri teguh dengan penuh keberanian dan kehormatan.

Karena pada akhirnya, martabatlah yang menjadi penentu, bukan sekadar vonis di atas kertas.

Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis