Sementara itu, ibu Delpedro tetap menangis, netizen tetap ribut, polisi tetap membacakan pasal, advokat tetap menenteng KUHAP bagai kitab suci. Dan Yusril? Ia berdiri di tengah, bagai komentator sepak bola yang yakin dirinya lebih paham strategi ketimbang pemain di lapangan.
Akhirnya, drama ini bergulir seperti komedi tragis. Yusril berbicara tentang gentleman melawan hukum, Bivitri mengingatkan hukum bukan panggung netral, Delpedro bersikeras tak bersalah, rakyat menonton sambil mengunyah gorengan. Ada yang serius, ada yang sinis, ada yang sekadar tertawa.
Begitulah: tragedi bisa berubah jadi komedi, tangis ibu bisa jadi simbol politik, kata “gentleman” bisa menjelma meme, dan hukum bisa menjelma panggung stand-up comedy paling laris di negeri ini. Justru di situlah pelajaran: di tengah absurditas, kadang kita memang hanya bisa tertawa. Kalau tidak, mungkin kita sudah gila.



