Sejarah memang menyimpan teladan tentang keberanian menghadapi hukum. Tahun 1930, Soekarno berdiri di hadapan hakim kolonial Belanda. Ia tahu vonis sudah digariskan, sadar pengadilan tidak pernah netral.
Namun ia hadir dengan dada tegak, membacakan pledoi panjang yang ditulis tangan, menjadikannya manifesto perjuangan bangsa. Ia datang bukan mencari keringanan, melainkan menunjukkan martabat seorang pemimpin: berani menghadapi hukum, sekalipun timpang.
Di Afrika Selatan, Nelson Mandela mengulang pelajaran itu. Dalam Rivonia Trial tahun 1964, di hadapan hakim kulit putih yang siap menjatuhkan hukuman mati, ia berkata tenang: “Saya siap mati demi cita-cita ini.”
Ia tidak kabur, tidak meminta suaka, padahal kesempatan terbuka. Mandela memilih penjara dengan kepala tegak, menjadikan ruang sidang sebagai panggung moral. Puluhan tahun kemudian, ia keluar bukan sebagai pecundang, melainkan sebagai presiden.
Di Malaysia, Anwar Ibrahim mengalami berkali-kali tuduhan politik. Ia dipenjara, diadili, digiring ke persidangan yang jauh dari netral. Tetapi ia tidak lari. Ia menulis dari balik jeruji, kembali ke gelanggang, hingga akhirnya menjadi Perdana Menteri. Martabatnya lahir bukan di panggung kampanye, melainkan di kursi pesakitan.
Amerika Serikat pun punya cerita. Richard Nixon, terjepit skandal Watergate, memilih mundur demi menyelamatkan demokrasi dari krisis lebih dalam. John McCain, meski bukan terdakwa, dalam panasnya kampanye berani menegaskan lawannya—Barack Obama—bukan orang jahat. Itu cara lain menunjukkan bahwa bahkan dalam pertarungan, ada etika yang tak boleh dilepas.
Indonesia sendiri punya Gus Dur. Saat diterpa kasus Buloggate dan Bruneigate, ia bisa saja mengerahkan massa. Tetapi ia memilih menghadapi sidang, berargumen, dan akhirnya menerima kenyataan politik yang membuatnya lengser. Ia turun tanpa pertumpahan darah, dengan kepala tegak.
Semua kisah ini menegaskan satu hal: gentleman dalam hukum bukan berarti selalu menang, melainkan berani hadir. Tidak kabur, tidak sembunyi, tidak menjadikan massa sebagai tameng. Bung Karno di Batavia, Mandela di Pretoria, Anwar di Kuala Lumpur, Nixon di Washington, Gus Dur di Jakarta—semuanya menunjukkan martabat pemimpin diuji bukan saat dielu-elukan, melainkan saat duduk di kursi pesakitan.



