Koran Sulindo – Meski kemunculannya diklaim mendahului Tarumanegara, namun keberadaan Salakanagara masih menyimpan misteri karena minim bukti-bukti fisik.
Satu-satunya bukti hanya berupa cerita dari Kronik China yang menyebut terjadi hubungan dagang antara kerajaan itu dengan Dinasti Han.
Bahkan dalam Hou Han Shu atau Kepustakaan Dinasti Han Lanjutan itu ditulis Salakanagara pernah mengirim utusan ke China pada tahun 131 masehi.
Selain Kronik China, sumber utama yang menyebut Salakanagara adalah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dari Cirebon yang termasuk dalam Naskah Wangsakerta. Berbeda dengan Hou Han Shu yang hanya menulis sekilas, kitab ini bercerita panjang lebar tentang asal muasal Salakanegara.
Pada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara disebut cikal bakal kerajaan itu berawal dari seseorang bernama Aki Tirem Luhur Mulya, kitab itu menulis, “hana pwa sang panghulu athawa pangamasa mandala pasisir Jawa kulwan / bang kulwan ika prarrucnaran aki tirem athawa sang aki luhunnulya ngaranira waneh.
Jika diterjemahkan kalimat tersebut kurang lebih berarti, “Adapun, panghulu atau penguasa wilayah pesisir barat Jawa Barat sebelah barat, namanya Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya nama lainnya.”
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara juga menyebut kala itu Pulau Jawa ramai didatangi para pengelana, pencari suaka hingga orang-orang yang melarikan diri dari daerah asalnya. Mereka datang bergelombang ke Jawa karena dianggap sebagai wilayah yang makmur.
Di antara para pendatang itu termasuk Devavarman, seorang duta keliling dari Pallawa di India selatan. Konon dalam perjalanannya ia telah menyambangi yang Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, China, hingga Abasid di Mesopotamia.
Devavarman akhirnya memperistri anak Aki Tirem yang dikenal sebagai Pwahaci Larasati atau Pohaci Larasati. Tak hanya Devavarman, semua anggota kelompoknya juga menikahi wanita-wanita pribumi. Mereka bahkan tak ingin kembali ke negerinya dan ingin menetap menjadi penduduk di situ dan beranak pinak.
Di akhir hidup Aki Tirem, sebelum meninggal berwasiat kepada menantunya Devavarman sekaligus menyerahkan kekuasaannya. Devavrman dinobatkan sebagai Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara, sedangkan isterinya, Pohaci Larasati menjadi permaisuri, dengan nama nobat, Dewi Dwanu Rahayu. Kerajaan itu kemudian diberi nama Salakanagara atau negeri perak.
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara menyebut kekuasaan Salakanagara ini mencakup Jawa Barat bagian barat dan semua pulau di sekitarnya. Devavarman digantikan oleh anak lelakinya yang kemudian bergelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra dan memerintah dari tahun 168 sampai 198.
Ia digantikan oleh anaknya yakni Dewawarman III dengan gelar Prabhu Singasagara Bimayasawirya yang berkuasa pada tahun 195-238.
Pada masa pemerintahannya itulah ia mengadakan hubungan dengan maharaja China dan raja raja India, permaisuri Devavarman III berasal dari Jawa Tengah. Berturut-turut kemudian Salakanagara dipimpin oleh Devavarman IV, Devavarman V hingga mencapai masa kejayaan di era Devavarman VIII.
Kerajaan ini meredup pengaruhnya setelah Jayasinghawarman yang merupakan pendiri Tarumanagara sekaligus menantu Dewawarman VIII memindahkan ibukota dari Rajatapura ke Tarumanagara. Semenjak saat itu Salakanagara berubah salah satu bagian dari Tarumanagara.
Menjadi persoalan justru karena Naskah Wangsakerta masih penuh kontroversi dan menyebut digarap oleh para Mahakawi di bawah pimpinan Pangeran Wangsakerta di Cirebon. Meski disyukuri karena lengkap menceritakan sejarah, di sisi lain tak sedikit sejarawan meragukan keasliannya.[TGU]