Koran Sulindo – Peraturan mengenai layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informatika atau equity crowdfunding telah dirancang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Layanan itu berfokus pada pembiayaan untuk usaha kecil dan menengah (UKM) serta perusahaan rintisan (startup).
Dijelaskan Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot, equity crowdfunding merupakan salah satu inovasi pemanfaatan teknologi guna meningkatkan inklusi keuangan.
Equity crowdfunding adalah penawaran untuk menjual saham dari penerbit ke pemodal atau investor secara digital. Nantinya, peraturan OJK itu akan mengatur penyelenggara, penerbit efek, dan investor.
“Layanan urun dana ini bisa menjadi alternatif sumber dana bagi pelaku UKM dan perusahaan rintisan,” ungkap Sekar, Senin (9/7).
Tertera dalam rancangan peraturan tersebut, penyelenggara equity crowdfunding harus berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) atau koperasi, dengan modal disetor minimal Rp 2,5 miliar. Penyelenggaranya harus mengajukan izin terlebih dulu ke OJK, yang akan ditelaah OJK paling lama 20 hari untuk kemudian disetujui atau ditolak.
Penyelenggara juga dilarang melakukan kegiatan usaha lain atau yang terafiliasi dengan penerbit. “Penyelenggara wajib melaporkan secara berkala, bulanan dan tahunan,” demikian antara lain dinyatakan dalam draft peraturan OJK tersebut. Contoh penyelenggara jenis usaha ini antara lain Akseleran.
Untuk bisa menjadi penerbit, perusahaan boleh merupakan perusahaan publik (emiten) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Syaratnya: jumlah pemegang sahamnya tidak lebih dari 300 pihak. Modal yang disetor penerbit pun tidak lebih dari Rp 18 miliar.
Maksimal, penawaran yang dilakukan penerbit Rp 6 miliar selama setahun. Penawaran ini bisa dibagi menjadi beberapa kali, sepanjang tidak lebih dari setahun. “Satu platform bisa digunakan oleh banyak perusahaan untuk menawarkan sahamnya. Tapi, satu perusahaan hanya bisa menggunakan satu platform,” kata Sekar.
Rancangan peraturan OJK itu akan disesuaikan dengan tanggapan para pemangku kepentingan. Yang akan diatur nantinya antara lain investor, seperti kriteria pemodal yang bisa membeli saham melalui platform milik penyelenggara.
Adapun pasar kedua atau secondary market tidak akan spesifik diatur. Namun, penyelenggara dapat menyediakan sistem untuk mengakomodasi hal tersebut. Ketentuan terkait jenis usaha ini sudah diterapkan di beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Kanada.
Masih terkait soal saham, untuk meningkatkan likuiditas pasa modal dan meningkatkan jumlah investor, Bursa Efek Indonesia (BEI) mewacanakan penurunan jumlah saham dalam hitungan satu lot, dari 100 saham menjadi 50 atau 20 saham. “Kami akan me-review besaran satu lot. Semua itu menunjukkan arah untuk mendapatkan liquidity market yang lebih baik,” kata Direktur Utama BEI Inarno Djayadi di Jakarta, 29 Juni.
Bila rencana itu jadi dijalankan, masyarakat yang memiliki dana sedikit dapat menjadi investor di pasar modal. Karena, jumlah minimal saham yang bisa dibeli menjadi lebih sedikit, hanya 20%-50% dari modal minimal yang dibutuhkan sekarang.
Seperti diketahui, batas minimal pembelian saham adalah satu lot. Berdasarkan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia nomor Kep-00071/BEI/11-2013, jumlah satu satuan perdagangan (lot) ditetapkan sebesar 100 saham. Misalnya ada yang ingin membeli saham suatu perusahaan yang harganya Rp 1.000 per saham, orang itu harus punya dana minimal Rp 100 ribu. Nah, kalau jumlah saham satu lot dikurangi menjadi 20 atau 50 saham, investor hanya perlu dana minimal Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu.
“Orang dengan modal kecil bisa main saham. Dulu kan minimal 500 lembar, lalu 100 lembar. Nanti bisa 50 atau 20 lembar saham, Kalau beres, mungkin tahun depan diterapkan. Tapi akan kami review dulu,” ungkap Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Laksono Widodo.
Pihak BEI optimistis pengurangan jumlah satu lot saham ini akan membuat pasar saham lebih likuid dan meningkatkan jumlah investor. Dengan demikian, kapitalisasi pasar (market capitalization) pasar modal Indonesia dapat meningkat.
Diungkapkan Inarno, BEI menargetkan nilai kapitalisasi pasar pada 2020 mencapai Rp 10 ribu triliun. Sebenarnya, target itu sudah dicanangkan oleh jajaran direksi BEI sebelumnya. Dengan target itu, kapitalisasi pasar modal Indonesia harus tumbuh 15%-20% per tahun. Tahun 2018 ini, nilai kapitalisasi pasarnya ditargetkan mencapai Rp 7 ribu triliun. “Itu target yang optimistis dan masuk akal,” tutur Inarno.
Bukan hanya penurunan batas jumlah minimal pembelian saham. BEI juga akan mempercepat penyelesaian transaksinya. Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) telah mengumumkan percepatan penyelesaian transaksi bursa (settlement) dari tiga hari (T+3) menjadi dua hari (T+2). Rencananya, ketentuan ini akan diimplementasikan mulai 26 November 2018. [RAF]