Koran Sulindo – Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kembali diteror. Pada 11 April 2017, seusai solah subuh berjamaah di masjid, di daerah Kelapagading, Jakarta Utara, Novel diserang oleh dua orang yang sampai sekarang belum diketahui identitasnya. Salah satu dari keduanya menyiram wajah Novel dengan air keras, istilah awam untuk larutan asam kuat yang cukup pekat, yang sangat berbahaya bila terkena kulit atau organ tubuh manusia.
Sebelumnya, pada 2016 lalu, Novel ketika sedang mengendarai sepeda motor menuju kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan, ditabrak mobil. Ia juga pernah dipidanakan terkait meninggalnya tahanan di Bengkulu pada tahun 2004. Ketika itu, Novel merupakan Kepala Satuan Reskrim Polres Kota Bengkulu.
Terkait teror pada 11 April 2017 itu, banyak yang berspekulasi pelakunya adalah orang-orang suruhan dari tokoh-tokoh yang diduga terlibat skandal pengadaan e-KTP, yang merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun. Karena, pada perkara yang sedang ditangani KPK tersebut, Novel adalah kepala satuan tugasnya. Apalagi, sehari sebelumnya, 10 Oktober 2017 pukul 19.03 WIB, situs merdeka.com menurunkan berita dengan judul “Setya Novanto dikabarkan dicegah ke luar negeri”. Sumber beritanya anonim, tapi disebutkan dari internal KPK. Namun, berita itu juga menginformasikan, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ronnie F. Sompie menyatakan, pihaknya belum menerima surat pengajuan pencegahan atas nama Setya Novanto.
Kenyataannya, siang hari setelah tragedi subuh yang menimpa Novel, Setya Novanto benar-benar diumumkan dicekal. Yang mengumumkan secara resmi adalah Ronnie F. Sompie. “Surat permintaan pencegahan ke luar negeri ini kami terima Senin malam. Nama Bapak Setya Novanto langsung dimasukkan ke dalam Sistem Informasi dan Manajemen Keimigrasian untuk berlaku selama enam bulan,” tutur Ronny F. Sompie di Jakarta pada 11 April 2017 itu
Sebenarnya, pencekalan tersebut agak aneh. Karena, tidak ada pengumumpan resmi dari KPK tentang status hukum Setya Novanto. Karena sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012 lalu, pencekalan dilarang dilakukan saat proses penyelidikan.
Dalam proses penyelidikan, yang dilakukan barulah sebatas mengumpulkan informasi mengenai ada atau tidaknya unsur pidana dalam suatu perkara. Karena itu, proses pencegahan terhadap seseorang boleh dilakukan ketika kasusnya sudah dalam proses penyidikan.
Putusan MK yang membatalkan kata “penyelidikan” dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang tentang Keimigrasian Tahun 2011 itu sempat menuai kontroversi. Perdebatannya terkait dampak putusan tersebut kepada KPK. Ketua MK Mahfud M.D. ketika itu mengatakan, putusan tersebut tidak akan berdampak kepada KPK karena undang-undangnya bersifat khusus.
Terkait putusan tersebut, Johan Budi yang kala itu masih menjadi Juru Bicara KPK mengatakan, putusan itu tidak berdampak kepada KPK karena kewenangannya diatur secara khusus dalam undang-undang. Johan juga menegaskan, KPK tidak pernah mencegah seseorang ketika kasusnya masih dalam tahap penyelidikan.
Kalau mengacu pada aturan itu dan juga apa yang dikatakan Johan Buidi, sebenarnya Setya Novanto sudah berstatus sebagai tersangka, karena sudah dicekal. Tapi, mengapa KPK tak mengumumkan saja status hukum Setya Novanto? Apalagi, kemungkinan sangat kecil Setya Novanto akan melarikan diri ke luar negeri dan bersembunyi di negara orang. Karena, dia adalah politisi yang populer, wajahnya di kenal banyak orang, dan yang lebih utama adalah posisinya sebagai Ketua DPR.
Lalu, benarkah Setya Novanto terlibat dalam upaya peneroran terhadap Novel Baswedan? Tentu perlu bukti yang cukup untuk menjawab pertanyaan itu.Namun, mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyatakan, apa yang menimpa Novel tak bisa dilepaskan dari kasus e-KTP. “Tentulah, tentu. Karena, posisi Novel tidak bisa dilepaskan. Dulu, pada kasus Korlantas dilakukan langkah-langkah yang tidak rasional terhadap Novel, sekarang e-KTP. Selalu ada kaitannya,” ujar Busyro di depan Gedung KPK, 11 April itu juga
Ia pun meminta kasus yang menimpa Novel segera diusut tuntas. “Kalau ini dibiarkan terus oleh negara, yang terjadi adalah pembiaran. Aktor-aktor itu tidak boleh diberi tempat hidup di negeri ini,” katanya.
Hal senada juga dikatakan oleh pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar. Bambang mengatakan, teror terhadap Novel pastinya melibatkan mafia-mafia hukum. “Novel Baswedan saat ini sedang gigih mengungkap korupsi e-KTP. Berkali-kali dia diteror, ditabrak dan lain-lain. Namun, dari peristiwa ini teror yang menimpa dia, tidak satu pun terungkap oleh pihak kepolisian. Saya menduga teror ini dilakukan oleh mafia,” tuturnya.Bila polisi tidak sanggup untuk mengungkap semua teror yang dialami Novel, lanjut Bambang, mafia hukum akan terus merajalela.
Polisi sendiri sampai berita ini dituliskan belum menemukan pelakunya, meski telah memeriksa 19 saksi. Namun, tim khusus dari Polda Metro Jaya sudah mendapatkan foto pelaku yang diambil dari CCTV di sekitar tempat kejadian perkara.
Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Mochamad Iriawan juga belum berani mengambil kesimpulan, apakah ada tokoh yang menyuruh pelakunya . “Pasti nanti akan kami tanyakan. Bukan tidak mungkin berdiri sendiri,” kata Iriawan.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memastikan, pihaknya telah menyiapkan personel untuk mengamankan KPK setelah penyerangan terhadap Novel Baswedan. Jika diminta, TNI menyiapkan pasukan terbaiknya untuk mengawal KPK 24 jam. “Saya berikan pasukan terbaik dan tidak akan saya sebutkan siapa karena pengawalannya tidak akan terlihat,” kata Gatot di kompleks Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, 12 April 2017.
Ia juga mengungkapkan, pihak TNI telah berkoordinasi dengan KPK mengenai pengamanan tersebut. Namun, Gatot tak mau menyebutkan, berapa personel TNI yang akan diturunkan untuk mengamankan KPK.
Apa yang dilakukan TNI itu bukan untuk pertama kalinya. Ketika KPK bersitegang dengan Polri terkait pengusutan perkara korupsi pengadaan simulator SIM, TNI juga melakukan penjagaan terhadap KPK.
Pertanyaannya, apakah KPK masih bersitegang dengan pihak kepolisian sehingga tak mau meminta bantuan polisi untuk mengamankan? Bukankah penjagaan keamanan di dalam negeri sebenarnya adalah tugas polisi, bukan tugas TNI? [YAM /PUR]