Ilustrasi: Ahok di pengadilan/Reuters

Koran Sulindo – Jaksa Penuntut Umum menuntut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) pidana penjara 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun dalam sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4).

Ahok didakwa dalam kasus penodaan agama karena pidatonya di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.

Video pidato itu kemudian diedit Buni Yani, dengan menghilangkan kata “pakai” dan diunggah di akun Facebook Buni Yani. Status itulah yang membuat beberapa pihak melaporkan Ahok ke polisi.

Latar Belakang

Pada 27 September 2016, pidatonya saat melakukan kunjungan kerja kelak dianggap menistai agama. Saat itu Ahok meninjau program pemberdayaan budi daya ikan kerapu. Dalam pidatonya itu, ia mengatakan program itu akan tetap dilanjutkan meski nanti tak terpilih lagi menjadi gubernur pada pilgub Februari 2017. Namun memang selama hampir 3 tahun Ahok menjadi gubernur, hanya ada sedikit program untuk warga di kepulauan sebelah utara Jakarta.

“Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu,” kata Ahok.

Sekitar 10 hari setelah acara itu, pada 6 Oktober 2016,  Buni Yani mengunggah cuplikan video rekaman pidato Ahok itu di akun Facebooknya, dengan judul ‘Penistaan terhadap Agama?’. Dalam statusnya ini Buni menghapus kata ‘pakai‘, “karena dibohongi Surat Al Maidah 51” dan bukannya “karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51”, seperti pidato aslinya.

Karena status Buni ini, Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Selatan melaporkan Ahok kepada polisi. Sejumlah orang dan organisasi lain menyusul.

Pada 10 Oktober, Ahok meminta maaf pada umat Islam soal ucapannya itu. Namun pada 14 Oktober, ratusan massa berbagai ormas Islam, dengan FPI sebagai aktor utama, berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta. Massa menuntut Ahok segera dihukum.

Sekitar 2 minggu setelah aksi itu, Ahok mendatangi Bareskrim Mabes Polri untuk memberikan klarifikasi soal pidatonya, lengkap dengan video asli pidatonya.

Namun pada 4 November unjuk rasa terjadi diikuti sekitar 100 ribu orang. Nampak pendiri FPI, Rizieq Syihab, anggota DPR Fahri Hamzah dan Fadli Zon, ada di mobil komando yang membawa para tokoh anti-Ahok itu. Mereka menuntut dipenjarakan.

Unjuk rasa yang berlangsung tertib hingga sore berubah ricuh saat memasuki malam. Massa anggota HMI di depan Istana Merdeka terlibat bentrokan dengan polisi.

Diniharinya, Presiden Joko Widodo mengatakan ada aktor politik bermain dalam unjuk rasa berbuntut kerusuhan itu. Setelah unjuk rasa ini, Presiden Jokowi mulai melakukan safari ke markas polisi, tentara, dan lembaga agama. Pada 8 November, misalnya, ia mengunjungi Nahdlatul Ulama dan ke Muhammadiyah keesokan harinya.

Pada 10 November, Jokowi mengunjungi markas Kopassus, disusul ke berbagai satuan lain seperti Paskhas AU, Marinir, Brimob, dan Kostrad.

Pada 16 November 2016, polisi menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama. Ahok menyatakan menerima keputusan polisi dan akan mengikuti proses hukum dengan keyakinan tak bersalah. Ahok juga menegaskan tidak akan mundur dari Pilkada 2017.

Menurut Ahok, videonya saat berbicara di Kepulauan Seribu itu dipotong-potong dan tidak ditampilkan secara utuh.

“Saya tidak mengatakan menghina Al Quran. Saya tidak mengatakan Al Quran bodoh. Saya katakan kepada masyarakat di Pulau Seribu kalau kalian dibodohi oleh orang-orang rasis, pengecut, menggunakan ayat suci itu untuk tidak pilih saya, ya silakan enggak usah pilih,” kata Ahok.

Ahok mengatakan, alasannya melontarkan ucapan yang menyebut Surat Al Maidah ayat 51 disebabkan ayat tersebut kerap digunakan oleh lawan politik untuk menyerangnya, hal yang sudah pernah dialaminya sejak pertama kali terjun di dunia politik pada 2003 di Belitung Timur. [DAS]