Koran Sulindo – Pilkada DKI Jakarta tidak sekedar pertaruhan Ahok dan partai-partai pengusungnya. Tapi, juga pertaruhan bagi penghormatan terhadap keberagaman bangsa.
Peristiwanya terjadi tiga tahun lalu, saat Basuki Tjahya Purnama masih menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta. Azan magrib belum lama berlalu. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya salah seorang staf Ahok dengan ramah mempersilakan kami masuk ke ruangan kerja sang pejabat. Agenda pertemuan malam itu: wawancara singkat untuk melengkapi sebuah buku yang sedang kami tulis.
Begitu memasuki ruang kerja wakil gubernur, yang terletak di lantai 2 Gedung Perkantoran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, itu sekilas ada rasa kaget. Suasana di ruangan berukuran sekitar 150 meter persegi itu tak seperti ruangan pejabat yang pernah kami datangi. Di dekat pintu masuk ada sebuah meja rapat besar, yang dikelilingi tujuh atau delapan anak muda yang sibuk dengan laptop mereka. Di belakang meja itu, beberapa anak muda lainnya duduk santai sambil mengomentari tayangan televisi yang memberitakan peristiwa penahanan seorang anggota DPRD DKI Jakarta yang tersangkut-sangkut perkara narkoba dengan seorang artis. Di sisi lain yang ada pula sebuah “meja makan”.
Meja kerja Ahok, panggilan Basuki, berada di pojok ruangan. Saat kami masuk ruangan, Ahok baru saja keluar dari toilet. “Ayo, kita mulai saja wawancaranya,” katanya sambil menggiring kami ke meja makan. Hanya dengan suguhan dua porsi sedang pepaya dan air putih, wawancara segera berlangsung.
Suaranya serak, parau. “Makanya, jangan marah-marah terus dong, Pak,” gurau salah seorang dari kami. Ahok pun tertawa, sehingga matanya menjadi bertambah sipit. Terlihat wajah Ahok agak lelah, tapi wawancara yang waktunya dibatasi hanya setengah jam itu berlangsung hangat. Ahok begitu bersemangat menanggapi berbagai pertanyaan dari kami. Walau pertanyaan lebih ke seputar kiprah seorang politisi senior yang kami sedang tulis biografinya, satu-dua kali jawaban Ahok juga “melantur” ke persoalan nasionalisme dan persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Kehadiran Ahok dalam perpolitikan di negeri ini memang membawa kesegaran, terutama karena ia Cina. Memang, Ahok bukan orang Cina pertama yang duduk di jajaran birokrasi. Pada masa Orde Lama ada beberapa orang dari etnis Cina yang menjadi pejabat, bahkan menduduki posisi menteri. Pada masa Orde Baru bisa dibilang tidak ada. Baru pada masa Era Reformasi ada lagi beberapa orang dari etnis Cina yang menduduki posisi menteri dan posisi tinggi dalam birokrasi, misalnya Ahok yang pernah menjadi Bupati Belitung Timur.
Namun, Ahok membawa kesegaran, selain karena gaya kepemimpinannya, karena dia bisa dibilang orang Cina langka di negeri ini—kalau bukan satu-satunya—yang mencapai posisi tinggi dalam pemerintahan pada masa kemerdekaan bangsa ini semata-mata karena perjuangan politiknya. Ahok memilih dunia politik sebagai jalan karirnya, setelah gagal menjadi pengusaha, dan, ya, itu tadi: berhasil menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan. Dan, bersama Joko Widodo atau Jokowi, Ahok langsung menohok perhatian publik.
Jatuh Bangun di Dunia Politik
Terjunnya Ahok ke dunia politik memang tidak terlepas dari fase kehidupannya sewaktu menjadi pengusaha. Lulus dari Jurusan Teknik Geologi Universitas Trisakti, Jakarta, pada tahun 1989, Ahok mencoba peruntungan sebagai pengusaha pasir kuarsa di kampunya, Belitung. Tapi, karirnya sebagai pengusaha kandas karena pabriknya ditutup aparat pemerintah. Ayahnya, Indra Tjahja Purnama, menasihati Ahok untuk berkiprah di dunia politik, agar bisa memperjuangkan nasib rakyat.
Setelah mempertimbangkan nasihat ayahnya, Ahok pun kemudian terjun ke dunia politik dan meninggalkan dunia usaha. Ia bergabung dengan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), yang saat itu dipimpin mantan aktivis 1974, Dr. Sjahrir. Pada Pemilu 2004, ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Dengan keuangan yang sangat terbatas, Ahok pun menghindari politik transaksi. Ia tidak mau membujuk calon pemilih dengan cara memberikan uang. Toh, Ahok tetap terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur periode 2004-2009.
Pada tahun 2005, Ahok terpilih menjadi Bupati Belitung Timur. Tanpa harus menjalankan politik nista, politik transaksi, politik uang. Ahok berhasil mendapatkan 37,13 persen suara pemilih. Hanya dalam waktu relatif singkat, berbagai program yang pro-rakyat miskin berhasil diwujudkan, mulai dari pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis sampai SLTA, sampai perbaikan infrastruktur. Ia juga memotong semua biaya pembangunan yang melibatkan kontraktor sampai 20 persen. Dengan begitu, Ahok memiliki banyak kelebihan anggaran untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Kinerjanya yang bagus sebagai bupati membuat banyak elemen masyarakat di Provinsi Bangka Belitung mendorong Ahok untuk menjadi gubernur. Tapi, kali ini ia gagal.
Toh, tak ada kata jera dalam perjuangan. “Indonesia harus berubah dan itu bergantung pada individu-individu idealis yang berani masuk dunia politik dan berani mempertahankan integritasnya,” ujarnya pada suatu kesempatan. Maka, gagal sebagai Gubernur Bangka Belitung tak membuat Ahok meninggalkan gelanggang politik. Dalam Pemilu Legislatif 2009, Ahok maju sebagai calon legislatif dari Partai Golkar dan berhasil melaju ke Senayan. Ia duduk di Komisi II DPR RI dan dikenal sebagai wakil rakyat yang apa adanya dan mudah diakses oleh masyarakat.
Dan, pada tahun 2012, sebagian besar warga Jakarta memilih pasangan Joko Widodo dan Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk masa bakti 2012-1027.
Ruh Jahat Orde Baru
Fenomena Ahok bisa dilihat juga sebagai “catatan keberhasilan” Orde Reformasi, di tengah meruyaknya sikap apatis dan pesimistis di tengah masyarakat, yang menganggap reformasi telah gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Kita sama tahu, setelah Orde Baru ditumbangkan, pembatasan-pembatasan dan kendali yang diberlakukan diskriminatif kepada masyarakat etnis Cina dihapuskan. Konghucu diakui sebagai agama. Perayaan Imlek diperbolehkan, malah dijadikan hari libur nasional. Bahasa Mandarin dan aksara kanji tidak lagi haram. Undang-Undang Antidiskriminasi juga telah disahkan dan diberlakukan, dan sebagainya.
Padahal, kita tahu, bahkan menjelang “masa kedaluwarsa”-nya, Orde Baru masih menorehkan catatan kelam bagi masyarakat etnis Cina. Pada tahun 1998, kerusuhan sosial terjadi dan etnis Cina menjadi sasaran utamanya.
Dalam sejarah Orde Baru, kerusuhan anti-Cina beberapa kali terjadi. Semua itu tak terlepas dari stigma yang terus-menerus ditempelkan Orde Baru kepada warga dari etnis Cina. Orde Baru mengidentikkan etnis Cina dengan komunisme, yang merupakan ajaran terlarang pada masa itu. Karena, menjelang terhadinya Gerakan 30 September 1965, masyarakat etnis Cina di Indonesia terbelah menjadi beberapa kelompok, antara lain kelompok asimilasionis dan integrasionis. Yang pertama, kaum asimilasionis, memiliki pandangan bahwa, agar bisa menjadi bagian tak terpisahkan dari seluruh rakyat Indonesia, warga etnis Cina tidak bisa tidak harus melepaskan seluruh identitas kecinaannya dan membaur sepenuh jiwa dengan seluruh masyarakat Indonesia.
Pandangan tersebut ditentang oleh kaum integrasionis. Bagi mereka, masyarakat etnis Cina, seperti halnya etnis lain yang ada di Indonesia, harus diberi kebebasan untuk mempertahankan identitas mereka dan tidak diberlakukan secara diskriminatif. Salah seorang tokohnya adalah Siaw Giok Tjan, Ketua Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Siaw Giok Tjan berpendapat, perlakuan diskriminatif terhadap etnis Cina di Indonesia hanya bisa lenyap jika masyarakat menjadi sosialis.
Itulah sebabnya, Baperki di bawah Tjan menjadi dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka, setelah Gerakan 30 September 1965 gagal dan PKI dituduh sebagai dalangnya, bukan hanya Baperki yang diberangus, etnis Cina juga dianggap sebagai etnis penyokong PKI, apalagi sempat ada pula Poros Jakarta-Peking pada masa Orde Lama, sehingga Orde Baru menganggap sah apabila etnis Cina mendapat perlakukan diskriminatif, sama halnya dengan orang-orang yang dianggap terlibat dan dekat dengan PKI. Orde Baru juga menempelkan cap oportunistis dan tidak nasionalis kepada etnis Cina.
Pada masa kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta 2012 lalu, “ruh jahat” dari masa Orde Baru itu sempat ada yang mau mengembuskan lagi. Pasangan Jokowi dan Ahok ada yang mencoba mendiskreditkan dengan isu kecinaan. Namun, sejarah membuktikan, Orde Reformasi telah membuat masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta, semakin dewasa. Mereka tampaknya menyadari, prasangka rasial lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.
Setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden RI, akhir 2014, Ahok pun menjadi Gubernur DKI Jakarta. Karakter dan sikapnya yang berangasan tidak berubah. Meski masyarakat mengakui berbagai prestasi yang dicapai di masa pemerintahannya, perilaku Ahok itu kerap menjadi bahan serangan lawan-lawan politiknya.
Kini ditengah pertarungan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, serangan terhadap karakter Ahok yang tidak santun itu berkelindan dengan isu anti-Cina. Ruh jahat Orde Baru itu kembali menghantui udara publik. Kita belum tahu dimana ujung pertarungan politik ini. Yang pasti, pilkada DKI Jakarta ini tidak semata pertaruhan Ahok dan partai-partai pengusungnya, tapi juga pertaruhan bagi kebhinnekaan negara-bangsa Indonesia. Dus, pertaruhan melawan ruh jahat Orde Baru bernama SARA (suku, ras, dan agama). [Satyabudi]