Sulindomedia – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah menyinggung hal paling peka dalam struktur warga negeri ini: para nelayan miskin, kelompok manusia ironis, yang sengsara di negeri yang memiliki kekayaan ikan salah satu terbesar di dunia.
Rententan terbongkarnya kasus suap yang melibatkan anggota DPRD DKI Sanusi, Direktur PT Agung Podomoro Land, pengusaha properti terkemuka Sugianto Kusuma (Aguan), dan “staf khususnya” Sunny Tanuwidjaja menggiring publik bertanya-tanya, di mana posisi Ahok dalam kasus ini?
Sejauh ini Ahok menegaskan yang ia lakukan semua berdasarkan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 yang, intinya, mengatur perihal reklamasi di wilayah utara Jakarta. Artinya, reklamasi itu adalah “gagasan” dari atas dan ia, sebagai kepala daerah, hanya pelaksana.
Publik mencatat, Ahok yang kemudian mengeluarkan ijin pembangunan di pulau-pulau hasil reklamasi itu, antara lain, pulau buatan milik Aguan, pendiri dan pemilik perusahaan properti Agung Sedayu Grup—yang belakangan kemudian pembangunan itu dihentikan.
Kita belum tahu ke mana akan bermuara drama kasus yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Betapapun kita harus mengapresiasi KPK yang mengungkap kasus ini. Perkara ini tidak sekadar membuka korupsi para pucuk pimpinan DPRD DKI, daerah yang memiliki pendapatan asli terbesar di Indonesia, juga keterlibatan para pengusaha-pengusaha properti ibukota yang selama ini, perlahan-lahan, mengambil alih lahan-lahan strategis di berbagai wilayah Jabodetabek dan di atasnya kemudian didirikan apartemen mewah, pusat-pusat perbelanjaan, dan superblok-superblok dengan harga miliaran rupiah.
Publik tak akan pernah tahu bagaimana nasib nelayan di sekitar daerah itu jika kasus ini tak terungkap. Para wartawan melakukan reportase dan menceritrakan bagaimana penghasilan nelayan di sana turun drastis setelah pulau-pulau reklmasi (yang oleh Pemerintah DKI sementara diberi nama “Pulau A,” Pulau B”, “Pulau C” dan seterusnya) berdiri.
Selain hasil perolehan ikan turun, mereka juga mesti memutar jauh -–berlayar dengan perahu motor mereka yang jauh dari canggih– untuk mencari ikan. Itu artinya, para nelayan gurem tersebut mesti mengeluarkan uang lebih banyak demi mendapat ikan, satu-satunya sumber penghasilan mereka.
Rentetan cerita tak terekspose di balik reklamasi itu kemudian bertambah lagi dengan penggusuran rumah-rumah para nelayan di Pasar Ikan Penjaringan yang kemudian melahirkan sejumlah “manusia perahu,” para keluarga yang memilih tinggal di atas kapal ketimbang di rumah susun yang dipandang sempit dan jauh dari pantai, tempat mereka menambatkan perahu. Sekali lagi, media kemudian mengekspose tragedi nasib para nelayan itu.
Nah, yang mengejutkan kita adalah sikap Ahok yang mengomentari aksi perlawanan para nelayan tersebut sebagai bak bermain sinetron. Sebagai gubernur, benar Ahok memiliki hak untuk menggusur para nelayan karena mereka tinggal di atas tanah negara. Tapi, dalam perspektif politik dan kemanusiaan sesungguhnya ia telah melakukan blunder! Dan blunder itu makin diperparah dengan terungkapnya hubungan-hubungan staf khususnya, Sunny Tanuwidjaya, dengan para konglomerat, terutama Aguan.
Kita tahu, Aguan, pemilik Agung Sedayu Grup adalah sosok yang “dituakan” oleh sejumlah raja properti ibukota. Ia memiliki jaringan bisnis luas, hubungan baik dengan sejumlah orang penting di negeri ini, dan sekaligus anak perusahaannya merupakan salah satu yang paling besar dalam mendapat hak mereklamasi area di pantai utara Jakarta itu. Orang bisa menghubungkan “keberuntungan Aguan” itu dengan peran Sunny –orang dekat Ahok yang, seperti Aguan, kini dicekal pihak imigrasi.
Kita masih menunggu sejauh mana KPK akan menemukan tindak pidana korupsi yang melibatkan Aguan dan Sunny. Jika KPK berhasil menemukan bukti Aguan adalah aktor intelektual di balik kasus suap terhadap Sanusi dan Sunny terlibat di dalamnya, bukan tidak mungkin semua ini juga akan makin menyeret-nyeret Ahok masuk dalam pusaran perkara ini. Setidaknya, seperti kasus sumber Rumah Sakit Sumber Waras, tentu KPK akan memeriksa Ahok.
Terlepas dari itu semua, rentetan kasus ini berbahaya untuk masa depan Ahok yang akan maju dalam perebutan kursi Gubernur DKI Jakarta tahun depan. Nasib para nelayan yang terekspose berpekan-pekan, keterlibatan Sunny dalam perkara suap terhadap DPRD bisa saja membuat publik kelas menengah Jakarta -–yang selama ini pendukung dan pembela Ahok– menjadi tidak simpati pada Ahok dan curiga Ahok sudah dikendalikan para raja properti -–segelintir orang, yang kebetulan juga mereka pengusaha keturunan Cina.
Politik tidak bisa diramalkan secara tepat dan karena itu bisa berubah dengan cepat pula. Kemanusiaan adalah sesuatu yang selalu menyentuh hati manusia dan bisa mengenyampingkan hal-hal rasional. Kemanusiaan melewati batas-batas suku, agama, jenis kelamin, pendidikan, apalagi sekadar penghasilan.
Inilah bumerang untuk Ahok: penggusuran nelayan dan dugaan keberpihakan kepada para raja properti. Satu hidup dalam kemiskisnan dan tak memiliki lahan, yang lain hidup dalam ketamakan menimbun kekayaan lahan. Jika Ahok tak bisa melewati dua isu krusial ini, popularitas dan elektabilitas bisa menukik tajam. [Tirta Segara, Kontributor Koran Suluh Indonesia]