Agresi Militer Belanda I: Upaya Keras Belanda Rebut Kemerdekaan Indonesia

Pasukan Belanda. (Wikipedia)

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, perjuangan belum benar-benar usai. Belanda yang sebelumnya kehilangan kekuasaannya akibat kedatangan Jepang, tak serta-merta menerima kenyataan bahwa Indonesia kini adalah negara merdeka.

Melalui berbagai cara, Belanda berupaya kembali menguasai tanah jajahannya. Salah satu upaya paling brutal adalah Agresi Militer Belanda I, sebuah operasi militer besar yang berlangsung dari 21 Juli hingga 5 Agustus 1947, menyasar wilayah-wilayah penting di Pulau Jawa dan Sumatera.

Latar Belakang

Kekalahan Belanda dalam Perang Dunia II telah menyebabkan kemunduran besar dalam sektor ekonominya. Negara itu mengalami krisis, dan cara tercepat untuk memulihkannya adalah dengan kembali mengeruk kekayaan alam dari tanah jajahan lama yakni Indonesia.

Dalam upaya inilah, Belanda mengirim kembali pasukannya ke Indonesia, namun kali ini dengan bendera baru. Bukan lagi VOC, melainkan NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yang merupakan bentuk pemerintahan sipil kolonial Belanda di Hindia.

Pasukan NICA pertama kali mendarat di Sabang, Aceh, dan kemudian tiba di Jakarta pada 15 September 1945, dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Hubertus van Mook.

Van Mook datang membawa pidato dari Ratu Wilhelmina yang menyatakan bahwa Indonesia akan dijadikan bagian dari sebuah persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda. Artinya, secara tidak langsung, kemerdekaan Indonesia diabaikan.

Namun pemerintah Indonesia dan rakyat yang telah mencicipi kemerdekaan tak sudi tunduk kembali. Penolakan terhadap pidato tersebut mencerminkan tekad bangsa untuk mempertahankan kedaulatan. Ketegangan pun semakin meningkat.

Pada 15 Juli 1947, Van Mook melayangkan sebuah ultimatum yang memaksa pihak Indonesia menarik mundur pasukannya sejauh 10 km dari garis demarkasi, sebuah batas gencatan senjata yang disepakati. Indonesia menolak ultimatum itu mentah-mentah, karena dianggap melecehkan kedaulatan negara.

Sebagai respons, pada 21 Juli 1947, melalui siaran radio, Van Mook secara terbuka menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat pada hasil Perjanjian Linggarjati, sebuah perjanjian penting yang sebelumnya telah menyatakan pengakuan Belanda secara de facto terhadap Republik Indonesia. Pernyataan itu menjadi titik balik, kurang dari 24 jam kemudian, Belanda melancarkan serangan besar-besaran.

Jalannya Agresi Militer Belanda I

Agresi ini dilancarkan dengan tujuan utama untuk menguasai sumber daya alam yang tersebar di wilayah Indonesia. Di Pulau Jawa, sasaran Belanda mencakup Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka menargetkan perkebunan, pabrik, dan pelabuhan, pusat-pusat ekonomi penting yang menopang republik muda ini.

Sementara itu, di Sumatera, fokus utama mereka adalah menguasai sektor pertambangan dan perkebunan, terutama minyak bumi dan batu bara, yang sangat krusial bagi kebangkitan ekonomi Belanda.

Serangan ini menimbulkan banyak korban jiwa. Penduduk sipil tak luput dari dampaknya. Banyak daerah yang hancur, dan situasi kemanusiaan memburuk.

Pemerintah Indonesia segera melaporkan agresi tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mendesak Belanda menghentikan serangan militer.

Tekanan internasional yang terus menguat membuat Belanda tidak punya pilihan lain selain menerima resolusi itu. Pertempuran dihentikan pada 5 Agustus 1947, menandai berakhirnya Agresi Militer Belanda I secara resmi.

Agresi Militer Belanda I menjadi bukti bahwa kemerdekaan Indonesia tidak diberikan, tetapi diperjuangkan dengan darah dan air mata. Belanda datang kembali bukan dengan damai, melainkan dengan senjata dan ambisi kolonialisme.

Namun semangat bangsa Indonesia untuk merdeka tak tergoyahkan. Peristiwa ini pun menjadi salah satu bab penting dalam sejarah panjang perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang kelak membuka jalan menuju pengakuan kedaulatan yang utuh dari dunia internasional. [UN]