Ilustrasi/beritaharian.sg

Koran Sulindo – Sebenarnya Indonesia tidak pernah menghadapi konflik antaragama. Jika ada konflik yang menyerupai konflik antaragama, hal tersebut sebenarnya disebabkan oleh aspek non-agama seperti politik atau ekonomi.

Hal ini dikatakan Letnan Jendral (Purn) Agus Widjojo, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Republik Indonesia saat berbicara pada sesi ke-10 Mahathir Global Peace School (MGPS) ke-5 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (3/12).

“Meski begitu dalam masyarakat yang multi etnik dan multi religi, konflik dengan penyebab yang bermacam-macam sebab dapat dengan mudah disebarkan dan diidentikkan dengan konflik antaretnik dan konflik antar agama. Hal ini merupakan tantangan bagi Indonesia di tengah cepatnya arus informasi, teknologi, dan media sosial,” kata Agus.

Menurut Agus, konflik tidak lepas dari adanya pergolakan, aksi yang merusak dan kekerasan fisik yang melibatkan dua pihak. Untuk mengubah kekerasan menjadi perdamaian, maka dialog dan negosiasi perlu digunakan untuk membangun jembatan yang menghubungkan pihak-pihak yang bertentangan yang terlibat dalam konflik.

“Semakin Indonesia menjadi demokratis, semakin damai pula resolusi konflik yang dipakai. Resolusi Konflik damai berfokus pada dialog dan negosiasi dan tidak melibatkan kekuatan militer lagi,” katanya.

Cara pemerintah Indonesia dalam mengatasi konflik juga telah berubah seiring perubahan sistem politik dari otokrasi menuju demokrasi. Resolusi konflik dalam sistem otokrasi yang semula dilakukan melalui operasi militer bergeser menuju resolusi konflik yang damai secara bertahap.

Agus mengemukakan bila dulunya pihak militer yang dipilih sebagai instrumen utama dalam resolusi konflik tidak lepas dari fungsi ganda TNI kala itu.

“Resolusi konflik dalam sistem otokrasi fokus pada pihak militer sebagai instrumen utama. Peran dari militer didukung oleh fungsi doktrin ganda mereka. Doktrin ini membentuk peran militer tidak hanya berfungsi sebagai basis pertahanan dan keamanan, tetapi juga masuk dalam urusan sosio-politik dan masyarakat Internal,” ungkapnya.

Pada kesempatan itu Agus membandingkan peristiwa sejarah konflik-konflik yang telah terjadi.

Dalam konflik tragedi 1965, katanya, penyelesaian konflik dilakukan dengan operasi stabilitas militer, diikuti dengan ekseskusi dan penahanan kepada eks anggota PKI. Hal ini menimbulkan trauma pada masyarakat.

Berbeda dengan konflik yang terjadi pascareformasi, Konflik Poso dan Aceh misalnya, menurut Agus, diselesaikan dengan pendekatan perundingan dan negosiasi. Konflik Poso menghasilkan Deklarasi Malino, sedangkan konflik Aceh rampung setelah dilakukan MoU antara pihak Indonesia dengan pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

Sementara itu Imtiyaz Yusuf, Ph. D., Direktur The International Centre for Buddhist-Muslim Understanding, College of Religious Studies, Mahidol University yang menjadi pembicara sebelumnya mengungkapkan, dialog antar dan intra-agama bisa membantu menyelesaikan kesalahpahaman antaragama yang menimbulkan konflik hingga peperangan. Dalam membangun dialog itu juga perlu menyelaraskan Hak Asasi Manusia dengan jalan demokrasi sebagai jembatannya.

Menurut Yusuf dalam membangun masa depan yang positif di ASEAN diperlukan hubungan yang baik antara agama Buddha dan Islam. Hal ini mengingat kedua agama itu merupakan agama dengan jumlah penganut terbesar di ASEAN.

“Dengan membangun hubungan yang baik dengan dialog antar dan intra agama kita bisa membantu mengatasi ketegangan antaragama seperti yang saat ini terjadi di Myanmar dengan Rohingya, di Sri Lanka, Thailand, atau dimana pun. Di samping itu juga diperlukan menyamaratakan hak setiap etnis dalam beragama,” katanya.

Lebih lanjut dikatakan Yusuf, agama memainkan peran ganda dalam sejarah yang dapat menjadi sumber nilai dan hukum. Di banyak negara, jaminan konstitusional kebebasan dalam beragama banyak yang menentang. Seperti yang terjadi di Myanmar dan Sri Lanka, penentangan tersebut datang dari mayoritas Buddha. Mereka mempromosikan agama yang mayoritarianisme. Karenanya, dalam mengatasinya perlu pendekatan dari sejarah masa lalu di tingkat keagamaan yang mampu hidup berdampingan, serta kemauan politik yang kuat di kedua sisi.

“Saat ini agama banyak digunakan oleh politisi sebagai tujuan politik,” paparnya.

Mengutip Teolog Katolik Liberal Hans Kung, Yusuf mengatakan bahwa tidak akan ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa perdamaian antaragama. Dalam pandangannya perdamaian akan menjadi nyata dan pemulihan hubungan yang berkonflik bisa terwujud, jika hal itu dibawa dengan kesadaran masyarakat yang didukung oleh kemauan politik dan tekad untuk mengakhiri konflik. Selain itu juga dengan melibatkan pembahasan tidak merusak iman maupun tradisi keagamaan dalam dialog antaragama.

“Berikan kesempatan bagi kita untuk menggali lebih jauh ke dalam kebijaksanaan tradisi agama yang kita anut,” kata Yusuf. [YUK]