Sulindomedia – Pemerintah menghapus skema bail-out atau suntikan dana untuk menyelamatkan perbankan yang bangkrut.  Peran penyelamatan perbankan akan diserahkan sepenuhnya ke Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Demikian disampaikan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin lalu (7/3/016). Rapat dengar pendapat itu membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) atau yang sekarang diubah menjadi Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).

Mekanisme bail-out, kata Menteri Bambang,  diganti bail-in. Dalam mekanisme bail-in, mekanisme pencegahan berlangsung sebelum perbankan mengalami kebangkrutan. Itu dilakukan oleh LPS dengan menyuntik dana ke bank yang bermasalah terlebih dulu. “Bila dana LPS tidak mencukupi untuk penyelamatan, bisa mengajukan pinjaman kepada pemerintah,” ujarnya.

Pemerintah akan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) di luar rencana yang tertera dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian, SBN dibeli oleh Bank Indonesia (BI) dan uang akan dipinjamkan kepada LPS untuk menyelamatkan bank yang bermasalah tersebut.  “Karena pinjaman, uang dari BI itu harus dikembalikan oleh LPS kepada pemerintah, sehingga tidak ada uang negara yang hilang begitu saja,” tutur Bambang.

Berbeda dengan mekanisme bail-out yang menempatkan bank yang bangkrut  tidak perlu mengembalikan uangnya karena tujuannya diselamatkan. “Kalau melihat perbandingan yang dilakukan berbagai negara, ini berbeda dengan bail-out. Kita ingin pastikan LPS bisa melakukan restrukturisasi perbankan dengan lancar, baik pinjaman maupun jaminan. Jadi, tidak ada APBN langsung ke perbankan, ke bank yang mengalami masalah,” ujarnya.

Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 49 dan Pasal 50 RUU PPSK. Pada pasal 49 disebutkan, dana untuk menangani permasalahan bank pada saat normal bersumber dari kekayaan bank, kekayaan BI, dan kekayaan LPS. Namun, ketika krisis, sumber dananya ditambah dari industri perbankan dan APBN. Penggunaan APBN dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai pengeluaran dalam keadaan darurat sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Sementara itu, dalam pasal 50 tertulis, dana APBN yang digunakan nantinya adalah melalui penerbitan SBN. Pagu penerbitan SBN bisa di luar yang tertera dalam APBN. Penerbitan SBN itu untuk penanganan krisis dan penyelamatan perbankan.

RUU PPSK juga mengatur pihak yang boleh memutuskan negara sedang dalam krisis sistem keuangan atau tidak. Secara definitif, pengertian krisis perbankan  adalah kondisi sistem keuangan yang gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dan efisien, yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan.

Menteri Bambang menyebutkan, keputusan tersebut dipegang oleh Presiden Republik Indonesia. Tentunya melalui rekomendasi oleh Forum Koordinator Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang beranggotakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan LPS.

Ini diatur dalam Pasal 37 RUU PPKSK, yang menyebutkan presiden memutuskan status sistem keuangan menjadi kondisi normal sesuai dengan rekomendasi atau menolak rekomendasi perubahan status stabilitas sistem keuangan menjadi normal yang disampaikan oleh Forum KSSK paling lambat 1×24 jam. Forum KKSK  berwewenang pula merekomendasikan kepada presiden untuk memutuskan penyelenggaraan program restrukturisasi perbankan sesuai Pasal 40 RUU PPKSK.

Dalam rapat dengar pendapat tersebut, Ketua Komisi XI Ahmadi Noor Supit menyebutkan, meski RUU belum disahkan, dalam persoalan ini baik FKSSK maupun DPR sudah sepakat. “Kami sepakati keputusan terakhir di presiden untuk menentukan kewenangan dalam keadaan darurat. Lain-lainnya, kami akan dalami lagi RUU ini,” tuturnya. [ARS/PUR]