Koran Sulindo – Dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, bergema nama Ketua DPR yang juga Ketua umum Partai Golkar, Setya Novanto. Dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (9/3), Setya Novanto disebut mendapat jatah Rp 574 miliar dari total nilai pengadaan e-KTP. Ia juga diduga menjadi pendorong disetujuinya anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun. “Setya Novanto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong mendapat bagian sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574,2 miliar,” kata jaksa.
Disebutkan pula, pada Februari 2010, ketika rapat pembahasan anggaran telah selesai, Irman dan Ketua Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu bertukar kata soal rencana menyebar duit haram ke anggota DPR. Adapun maksudnya: usulan anggaran yang diminta Kementerian dalam Negeri disetujui Komisi II DPR.
Setelah itu ada pertemuan lagi antara Irman dan Burhanudin. Kesepakatannya: fee untuk anggota Komisi II DPR akan diurus Andi Agustinus alias Andi Narogong, seorang pengusaha yang biasa menjadi rekanan di Kemendagri.
Langkah selanjutnya: Andi dan Irman bersetuju untuk menemui Setya Novanto, yang waktu itu menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar. Tujuannya: mendapatkan kepastian dukungan dari Fraksi Partai Golkar atas rencana anggaran e-KTP. Maka, datanglah keduanya ke ruang kerja Setya Novanto di DPR dan ditemui langsung oleh sang penguasa ruang. Keputusannya: Setya Novanto berjanji akan melakukan koordinasi dengan jajaran kepemimpinan fraksi lainnya. Waktu bertemu Andi Naragong dan Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini di Hotel Gran Melia, Jakarta, Novanto pun menyatakan dukungannya terkait pengajuan anggaran itu.
Lalu, Juli-Agustus 2010 bergulirlah pembahasan RAPBN Tahun 2011 di DPR dan Andi Narogong “bergerilya”, melakukan beberapa kali pertemuan dengan beberapa anggota DPR RI, wabil khusus dengan Setya Novanto, Muhammad Nazaruddin, dan Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum. “Anggota DPR tersebut dianggap representasi Partai Golkar dan Demokrat yang dapat mendorong Komisi II DPR menyetujui anggaran e-KTP,” tutur jaksa KPK.
Singkat cerita, tok-tok-tok, anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun pun disetujui DPR. Lalu, Andi Naragong berembuk dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Nazaruddin mengenai rencana penggunaan anggaran. Hasil rembuknya: 51% anggaran atau sejumlah Rp 2,662 triliun akan digunakan untuk belanja modal atau belaja rill proyek. Sisanya yang 49% atau Rp 2,5 triliun dipandang sebagai uang nenek mereka sendiri, jadinya akan dibagikan kepada pejabat Kemendagri 7% dan anggota Komisi II DPR sebesar 5%. Setya Novanto dan Andi dibagi 11% atau senilai Rp 574.200.000.000. Besaran yang sama, 11%, juga diberikan kepada Anas dan Nazaruddin. Sisa 15% akan dicipratkan sebagai keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan. Demikian kesimpulan dari dakwaan yang dibacakan jaksa.
Jadi, kalau disimpulkan lagi, dalam lakon kongkalikong ini diduga para pemain utamanya adalah kader dari dua partai saja, yakni Partai Golkar dan Partai Demokrat. Yang lain tampaknya cuma kecipratan, meski tetap akan masuk penjara jika terbukti bersalah.
Kalau yang kecipratan saja dikandangkan, tentu saja pemain-pemain utamanya juga pasti dikerangkeng, kecuali bila hukum di negara ini sekadar dijalankan untuk basa-basi saja. Apalagi, uangnya triliunan rupiah. Terlalu bila yang diseret ke pengadilan hanya kena cipratan, yang bukan pengambil keputusan. [PUR]