Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok)/theaustralian

Koran Sulindo – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan pengadilan kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tetap digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Sidang akan dilangsungkan di gedung bekas PN Jakarta Pusat di Jalan Gadjah Mada.

Sidang perdana itu digelar di sana karena gedung PN Jakarta Utara di Jalan Laksamana RE Martadinata Nomor 4, Sunter, Tanjung Priok sedang direnovasi.

Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Hasoloan Sianturi, mengatakan sejak perkara itu didaftarkan di PN Jakarta Utara, Kamis (1/12), majelis hakim sudah menetapkan lokasi dan tanggal persidangan perdana yang digelar besok.

Majelis hakim yang akan menangani perkara itu diketuai Dwiarso Budi Santiarto, dengan anggota Jupriadi, Abdul Rosyad, Joseph V Rahantoknam, dan I Wayan Wijarna.

Pekan lalu, Polda Metro Jaya mempertimbangkan untuk memindahkan lokasi sidang ke wilayah Cibubur, Jakarta Timur, kendati wewenang memindahkan lokasi sidang di tangan pengadilan.

Ahok ditetapkan sebagai sebagai tersangka dalam kasus penistaan berdasarkan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pada 16 November lalu.

Kapasitas Terbatas

Kapasitas gedung itu hanya bisa menampung sekitar 80 orang. Gedung lokasi sidang Ahok ini memang lebih kecil jika dibandingkan dengan gedung baru PN Jakarta Pusat di Kemayoran, yang menjadi lokasi sidang Jessica Kumala Wongso.

“Sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Kami tidak membatasi orang, namun ruang sidangnya yang terbatas agar dipahami jadi tidak bisa menampung seluruh pengunjung. Bangkunya hanya 21 buah, satu bangku diduduki 4 orang,” kata Hasoloan.

Siaran Langsung Televisi Dibatasi

Sementara itu Dewan Pers mengimbau stasiun televisi tidak menyiarkan langsung sidang perdana Ahok tersebut.

“Ada bahaya besar kalau ini disiarkan secara langsung,” kata Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, akrab dipanggil Stanley, seusai pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi stasiun televisi di gedung Dewan Pers, Jakarta, Jumat (9/12).

Jika pelaksanaan sidang disiarkan langsung dikhawatirkan banyak pihak yang bertikai di luar persidangan. Selain itu, enyiaran langsung juga dapat menghilangkan asas praduga tak bersalah yang seharusnya ada saat proses hukum masih berlangsung. Sebab penghakiman di luar jalannya persidangan dapat terjadi. Yosep mencontohkan proses persidangan Jessica Kumala Wongso yang disiarkan langsung sejumlah televisi.

Selain itu, siaran langsung membuat hakim rawan tertekan desakan massa ketika mengambil sebuah putusan.

“Kita harus jaga pengadilan untuk bisa bebas dan independen. Jangan sampai pers merusak ini,” katanya, seperti dikutip Kompas.com.

Kebebasan persdiatur dalam convenan internasional mengenai hak sipil dan politik. Kebebasan ini masuk dalam derogable rights. Derogable rights adalah hak-hak yang boleh dibatasi. “Jadi membatasi dalam penyiaran itu bukan berarti anti kebebasan pers,” kata Stanley .

Komisi Yudisial menyetujui kesepakatan televisi dengan Dewan Pers itu.

“Siaran langsung dapat dilakukan pada bagian-bagian tertentu, semisal pada pembacaan tuntutan, pledoi dan pembacaan putusan,” kata juru bicara KY, Farid Wajdi.

Imbauan sama dinyatakan Komisi Penyiaran Indonesia.

Ketua KPI Yuliandre Darwis meminta televisi tidak melakukan siaran langsung berkepanjangan, sebab televisi menggunakan frekuensi publik. [DAS]